“Tong kosong nyaring bunyinya”, mungkin inilah peribahasa yang cocok untuk menggambarkan bagaimana kinerja dari para legislator di negeri ini. Akhir-akhir ini, masyarakat sering dibuat geram oleh tingkah laku para pemimpin, dimana mereka dianggap tidak becus dalam melakukan tugas mereka. Hal ini pun diperparah oleh tingkah mereka yang menjadikan kekuasaan sebagai instrumen untuk memperkaya diri mereka sendiri, tanpa mau membuka mata akan penderitaan yang sedang dialami masyarakat sekarang.
Tingkah mereka terbukti dengan kasus yang baru-baru ini terjadi, yakni adanya kenaikan gaji milik para legislator yang dinilai menyentuh nominal fantastis. Memang, Puan Maharani selaku Ketua DPR RI membantah bahwa tidak ada kenaikan gaji pokok yang didapatkan oleh DPR RI, melainkan tambahan fasilitas kompensasi rumah jabatan, mengingat para anggota DPR tidak lagi mendapatkan rumah jabatan. Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI juga menegaskan bahwa yang mengalami kenaikan hanyalah komponen tunjangan, seperti tunjangan beras naik menjadi RP 12 juta dan tunjangan transportasi menjadi RP 7 juta.
Namun, tetaplah dapat dikatakan adanya kenaikan pendapatan bagi para anggota DPR yang jelas menguntungkan mereka. Pasalnya, total pendapatan DPR dalam sebulannya bisa menyentuh RP 100 juta, sedangkan bagi masyarakat, hal itu menjadi ironi di tengah maraknya PHK dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang menyiksa rakyat. Sebuah pemandangan yang memperlihatkan jauhnya jarak antara para pemerintah dengan masyarakat.
Masyarakat pun dibuat bertanya-tanya, apakah kekuasaan yang dimiliki oleh para pejabat kini lebih berorientasi pada pemenuhan kepentingan diri sendiri ketimbang fokus pada pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat sebagai tugas utama mereka? Kenaikan pendapatan DPR yang dinilai tidak sepadan dengan kinerja mereka dalam mensejahterakan masyarakat jelas membuat masyarakat merasa bahwa nilai moral dan praktik politik para pejabat sudah tidak sejalan lagi.
Kasus ini mencerminkan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh para legislator memiliki celah bagi mereka untuk melakukan praktik politik yang kotor dan penuh dengan kepentingan pribadi. Dengan memiliki kewenangan untuk mengatur serta menentukan anggaran, mereka seolah memiliki validitas untuk menempatkan keuntungannya diri mereka sendiri diatas kepentingan rakyat. Di titik inilah nilai moral dan etika politik perlahan memudar hanya karena ambisi untuk mempertahankan, atau bahkan menambah keuntungan yang para pejabat miliki saat ini.
Lebih jauh, dominasi kelompok elit pun turut berperan besar dalam kasus ini. Dengan segala kekuasaan yang mereka miliki, mereka lebih memilih untuk menunjukkan sejatinya apa itu politik berbasis imbalan. Pertanyaan baru pun muncul dalam benak masyarakat, untuk siapa sebenarnya politik dijalankan di negeri ini? Untuk rakyat atau untuk para penguasa? Tak mengherankan jika sekarang banyak masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaannya terhadap para anggota DPR. Bahkan, survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%. Data tersebut pun memperkuat pesan bahwa bagi mereka, demokrasi semata-mata hanyalah prinsip belaka yang kini telah kehilangan tujuan aslinya.
Perbedaan antara kehidupan rakyat dan para pejabat terlihat sangat jelas. Adanya ketimpangan dalam gaya hidup yang berbeda menimbulkan kekecewaan dalam diri masyarakat karena merasa telah dikhianati oleh para pejabat. Politik yang seharusnya menjadi wadah untuk menyuarakan keinginan rakyat, justru berubah menjadi tempat bagi pejabat untuk memperkaya diri sendiri. Dan ketika perubahan tersebut terjadi saat ini, rasa kecewa yang timbul perlahan mengubah topengnya menjadi sikap apatisme politik. Masyarakat mulai merasa bahwa ikut terlibat dalam urusan politik di negara ini sudah tidak ada gunanya. Pada akhirnya, rakyat tidak lagi percaya bahwa orang-orang yang berkuasa benar-benar mewakili mereka.
Padahal, seorang wakil rakyat seharusnya memiliki rasa tanggung jawab untuk memperjuangkan kesejahteraan publik, mengingat karena rasa percaya masyarakatlah yang membuat mereka bisa di posisi tersebut. Kekuasaan seharusnya digunakan bukan untuk kepentingan beberapa orang saja, tapi dengan kesadaran bahwa setiap warga negara berhak hidup bahagia dan sejahtera. Ketika representasi itu luntur, politik telah kehilangan maknanya sebagai sarana pelayanan dan pengabdian. Dan kini, rakyat hanya bisa menonton bagaimana demokrasi yang sejatinya lahir untuk rakyat, kini perlahan pergi meninggalkan mereka.
Dari perspektif budaya, jika menilai dari sikap pejabat sekarang, tentunya ada pergeseran motif dalam mencalonkan dirinya menjadi anggota dari DPR, yang pada akhirnya juga turut merubah dari budaya kepemimpinan bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang seharusnya menjadi fondasi politik, kini sering terpinggirkan oleh orientasi pada keuntungan pribadi. Fenomena ini pun tidak lepas dari budaya politik Indonesia yang selama ini masih dipelihara oleh masyarakatnya sendiri, seperti budaya patronase ataupun feodalisme politik. Kekuasaan sendiri pun sering kali didapatkan dan dipertahankan melalui jaringan pribadi, ataupun bahkan dengan transaksi politik, ketimbang dengan berdasarkan pada kompetensi dan integritas individu.
Akibatnya, perilaku para pejabat tersebut bukan hanya berdampak pada kebijakan dan ekonomi, tetapi juga mempengaruhi perilaku masyarakat. Pejabat yang kini juga memiliki obsesi untuk memperkaya diri sendiri tanpa memperhatikan rasa empati dan beban moral, telah gagal dalam memberikan contoh baik kepada rakyatnya. Dalam konteks ini, masyarakat dipaksa untuk menormalisasi segala perilaku politik yang busuk, dan menjadi individu yang lebih individualis, hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, sama dengan contoh buruk yang telah ditunjukkan oleh pejabat kita.
Pada akhirnya, kenaikan pendapatan DPR bukan sekadar persoalan nominal, melainkan cerminan betapa jeleknya moralitas politik bangsa Indonesia hari ini. Saat rakyat masih bersusah payah untuk menghidupi dirinya yang semakin hari semakin berat, para pejabat justru sibuk menambah kekayaan pribadi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa demokrasi di indonesia masih belum seperti yang diharapkan. Kini, sudah sepantasnya DPR untuk berbenah dan tidak terus menormalisasi politik tanpa hati nurani. Sebab, jika suara rakyat terus diabaikan, maka bukan tidak mungkin ketidakpuasan masyarakat berubah menjadi gejolak dan perpecahan sosial, yang hanya akan membuat bangsa ini kembali terjebak dalam lingkaran konflik yang sama tanpa solusi.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
































































