Sidoarjo, 21 Maret 2025 – Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik (HKHP) Koordinator Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UMSIDA menggelar kegiatan konsolidasi dan diskusi bertajuk Tolak RUU TNI: Ancaman bagi Supremasi Sipil pada Kamis malam (20/3). Kegiatan ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dinilai berpotensi mengancam supremasi sipil dalam sistem demokrasi Indonesia.
Diskusi ini membahas secara kritis substansi RUU TNI yang dianggap dapat mengancam supremasi sipil. Para peserta menyatakan kekhawatiran bahwa revisi UU ini akan memberikan kewenangan lebih luas kepada militer dalam ranah sipil, yang berpotensi menimbulkan kemunduran dalam demokrasi. Beberapa pasal dalam revisi tersebut dinilai tidak sejalan dengan prinsip supremasi sipil yang menjadi dasar sistem pemerintahan demokratis di Indonesia.
Acara ini berlangsung di halaman Kampus 1 UMSIDA, Sidoarjo, pada Kamis malam (20 Maret 2025) setelah salat tarawih. Pemilihan waktu ini menunjukkan komitmen mahasiswa untuk tetap aktif dalam diskusi publik meskipun dalam suasana bulan Ramadan. Kehadiran mahasiswa dari berbagai fakultas menandakan tingginya perhatian terhadap isu revisi UU TNI.
Kegiatan ini diinisiasi oleh IMM UMSIDA melalui bidang HKHP bekerja sama dengan BEM UMSIDA. Acara ini menghadirkan Arya Bimantara, S.H., seorang Junior Associate di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UMSIDA, sebagai pemantik diskusi. Sementara itu, Fawwaz Hanif Basyaeb, selaku Ketua Bidang HKHP Koorkom IMM UMSIDA, membuka acara dan bertindak sebagai moderator. Selain itu, banyak mahasiswa dari berbagai fakultas turut hadir dan berpartisipasi aktif dalam diskusi.
Kegiatan ini diselenggarakan sebagai bentuk kepedulian mahasiswa terhadap kebijakan negara, khususnya dalam menjaga prinsip supremasi sipil dan demokrasi. Mahasiswa menilai bahwa revisi UU TNI memiliki banyak kelemahan sejak tahap prosedural hingga substansi pasal-pasalnya. Dengan demikian, kajian kritis diperlukan agar publik semakin memahami risiko yang dapat ditimbulkan oleh regulasi ini.
Menurut Arya Bimantara, RUU TNI memiliki berbagai celah yang berpotensi memperkuat peran militer dalam kehidupan sipil. Jika tidak dikritisi, revisi ini bisa memberikan ruang bagi kembalinya praktik dwifungsi ABRI yang pernah terjadi di masa lalu, di mana militer tidak hanya bertugas dalam bidang pertahanan, tetapi juga memiliki kewenangan dalam politik dan pemerintahan.
Diskusi berjalan secara dinamis dengan berbagai tanggapan dan pertanyaan dari mahasiswa. Beberapa peserta mengungkapkan kegelisahan mereka mengenai pasal-pasal dalam revisi UU yang dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi. Beberapa mahasiswa bahkan menekankan perlunya keterlibatan publik dalam mengawal kebijakan negara agar tidak merugikan supremasi sipil.
Arya Bimantara dalam pemaparannya juga menjelaskan bahwa mahasiswa dapat menggunakan berbagai mekanisme konstitusional untuk menolak revisi ini, seperti melakukan aksi demonstrasi atau mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, langkah-langkah ini penting agar suara masyarakat tetap didengar oleh pemerintah dan parlemen.
Acara ini ditutup dengan sesi diskusi terbuka, di mana peserta saling bertukar pandangan mengenai strategi yang bisa dilakukan untuk menolak RUU TNI. Beberapa peserta mengusulkan agar kampus dijadikan sebagai ruang intelektual yang aktif dalam mengawal kebijakan publik dengan mengadakan kajian-kajian serupa secara berkelanjutan.
Mahasiswa berharap agar diskusi seperti ini dapat menjadi langkah awal dalam membangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya supremasi sipil dalam sistem demokrasi Indonesia. Mereka menegaskan bahwa keterlibatan aktif dalam isu-isu kebijakan publik tidak hanya sebatas diskusi akademik, tetapi juga harus diwujudkan dalam aksi nyata yang berdampak.
Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan mahasiswa UMSIDA dan generasi muda lainnya semakin sadar akan peran dan tanggung jawab mereka dalam menjaga demokrasi. Konsolidasi dan diskusi ini bukan sekadar pertemuan intelektual, tetapi juga menjadi bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.