Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya, suku, agama, dan bahasa. Melihat dari sudut pandang ini, multikulturalisme menjadi prinsip penting untuk menjaga keutuhan sosial. Multikulturalisme bukan hanya soal pengakuan atas perbedaan, tetapi juga bagaimana perbedaan itu hidup berdampingan secara harmonis. Salah satu contoh unik dari penerapan nilai-nilai multikulturalisme dapat ditemukan dalam kuliner tradisional, yaitu Soto Kerbau yang berada di kota Kudus.
Di balik kelezatan soto kerbau, tersimpan nilai sejarah dan sosial yang merefleksikan sikap toleransi antar umat beragama dan perpaduan budaya yang bijaksana. Artikel ini akan membahas secara mendalam bagaimana soto kerbau menjadi simbol multikulturalisme, dilengkapi dengan teori relevan dan refleksi sosial budaya.
Soto kerbau Kudus bukan sekadar kuliner tradisional yang menggoda selera, melainkan cermin dari keberagaman budaya dan nilai toleransi yang telah lama mengakar di tanah Jawa. Hidangan ini menyimpan kisah panjang tentang akulturasi budaya dan keharmonisan hidup antar umat beragama.
Apa yang tersaji dalam semangkuk soto kerbau sesungguhnya adalah representasi budaya Kudus yang multikultural menggabungkan unsur tradisi Hindu, budaya Jawa, serta pengaruh Tionghoa. Mengutip dari situs uns.ac.id, soto kerbau Kudus dikenal sejak abad ke-16 dan sampai saat ini tetap mempertahankan keasliannya. Tidak hanya menjadi makanan khas yang dibanggakan, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya hidup berdampingan, menghargai keyakinan lain, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam bingkai kebudayaan.
Pada masa itu, mayoritas penduduk Kudus masih memeluk agama Hindu, sapi dianggap sebagai hewan suci. Mengonsumsi daging sapi adalah sebuah pantangan besar bagi masyarakat Kudus masa lampau. Ketika Islam mulai menyebar di daerah ini, Sunan Kudus (Ja’far Shodiq), salah satu Walisongo yang berperan besar dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, memilih pendekatan kultural yang penuh toleransi. Ia tidak serta-merta menentang tradisi yang telah hidup ratusan tahun. Sebaliknya, ia justru melarang penyembelihan sapi di wilayah Kudus sebagai bentuk penghormatan terhadap umat Hindu yang menjadi mayoritas saat itu.
Sebagai alternatif, salah satu daging yaitu daging kerbau digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging masyarakat Muslim. Pilihan ini menjadi simbol toleransi dan empati antar pemeluk agama yang berbeda. Langkah ini juga menunjukkan bagaimana ajaran Islam dapat hadir dengan cara yang damai, menyatu, dan tidak menyingkirkan kearifan lokal.
Meskipun pengaruh dominan agama Hindu telah memudar sejak lebih dari 700 tahun lalu, nilai-nilai yang ditanamkan Sunan Kudus masih hidup dan diwariskan secara turun-temurun. Kebiasaan untuk tidak mengonsumsi daging sapi tetap dijaga oleh masyarakat Kudus sebagai bentuk penghormatan pada tradisi leluhur dan simbol identitas kultural. Sejak saat itu, penggunaan daging kerbau dalam Soto Kudus menjadi ciri khas yang masih bertahan hingga kini. Meskipun demikian, variasi dengan daging ayam juga tersedia untuk memenuhi preferensi konsumen .
Untuk memahami lebih dalam bagaimana soto kerbau Kudus merepresentasikan nilai-nilai multikulturalisme, kita dapat merujuk pada teori multikulturalisme yaitu:
Dikutip dari Rethinking Multiculturalism (2000), Parekh menyatakan bahwa masyarakat multikultural terdiri dari berbagai komunitas budaya yang hidup berdampingan secara setara. Negara tidak boleh memaksakan satu identitas dominan, melainkan harus memberi ruang bagi ekspresi budaya yang beragam. Dalam konteks soto kerbau Kudus, keputusan untuk tidak menyembelih sapi mencerminkan prinsip ini—yakni menghormati tradisi Hindu lokal melalui pendekatan Islam yang toleran dan penuh empati.
Dikutip dari Multicultural Citizenship (1995), Kymlicka menekankan pentingnya “group-differentiated rights”, yaitu pengakuan atas hak kelompok minoritas agar dapat mempertahankan identitas budayanya. Penggunaan daging kerbau dalam soto Kudus adalah bentuk perlindungan terhadap identitas lokal yang menghargai perbedaan, serta bukti bahwa warisan budaya bisa menjadi dasar solidaritas sosial.
Oleh : Putri Nirwanasari
Mahasiswa Psikologi Universitas Muria Kudus
Referensi
[Javanologi Explore] Kuliner Jawa: Soto Kudus | PUI JAVANOLOGI
Parekh, B. C. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Kymlicka, W. (1995). Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford: Clarendon Press.