Pancasila telah lama menjadi dasar negara dan panduan moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun, dalam era digital yang serba cepat ini, muncul tantangan baru dalam mempertahankan nilai-nilai Pancasila, khususnya dalam konteks etika komunikasi. Komunikasi tidak lagi terbatas pada ruang tatap muka, melainkan telah melebar ke dunia maya, di mana kata-kata dapat menyebar dalam hitungan detik dan membawa pengaruh yang luas.
Sayangnya, tidak sedikit masyarakat yang menyalahgunakan kebebasan berekspresi dengan menyampaikan opini tanpa memperhatikan etika dan kesopanan. Perbedaan pendapat yang seharusnya menjadi hal yang wajar dalam demokrasi, justru kerap kali berujung pada ujaran kebencian, fitnah, bahkan perpecahan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan yang terkandung dalam Pancasila.
Sila kedua, yakni “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, mengajarkan pentingnya menghormati sesama manusia, termasuk dalam komunikasi. Dalam praktiknya, etika komunikasi yang sesuai dengan nilai ini berarti mampu menyampaikan pendapat secara sopan, objektif, dan tidak merendahkan orang lain. Namun, di berbagai platform media sosial, kita masih sering menyaksikan perilaku yang justru jauh dari nilai tersebut.
Etika komunikasi yang berlandaskan Pancasila juga sangat erat kaitannya dengan sila ketiga, “Persatuan Indonesia”. Komunikasi yang tidak bijak berpotensi menimbulkan disintegrasi sosial. Oleh karena itu, masyarakat perlu menyadari bahwa setiap kata yang diucapkan—baik secara langsung maupun melalui media digital—dapat berdampak terhadap harmoni kehidupan berbangsa.
Mengacu pada pendapat Prof. Kaelan (2013) dalam bukunya Pendidikan Pancasila, Pancasila tidak hanya menjadi dasar konstitusional, tetapi juga sumber nilai dan norma yang harus diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, Pancasila seharusnya menjadi pedoman dalam bertindak, termasuk dalam menyampaikan informasi dan pendapat secara etis dan bertanggung jawab.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika juga menunjukkan bahwa penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di internet masih menjadi tantangan serius. Untuk itu, diperlukan literasi digital yang kuat agar masyarakat tidak hanya mampu menggunakan teknologi, tetapi juga bijak dalam berkomunikasi secara daring. Di sinilah pentingnya sinergi antara nilai Pancasila dan pemahaman komunikasi yang beretika.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sendiri telah menekankan bahwa membudayakan komunikasi damai dan etis merupakan salah satu bentuk nyata dalam menjaga eksistensi Pancasila di tengah dinamika zaman. Menjaga kata-kata dan cara menyampaikan pendapat adalah bagian dari tanggung jawab sebagai warga negara yang mencintai tanah air.
Dengan demikian, menjaga Pancasila dalam konteks etika komunikasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau tokoh masyarakat, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh elemen bangsa. Di era kebebasan informasi ini, semakin penting bagi setiap individu untuk menyaring informasi, mengedepankan empati, dan menyuarakan pendapat secara bijaksana agar Pancasila tetap menjadi ruh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Referensi:
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
BPIP – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. https://bpip.go.id
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. “Waspada Hoaks dan Disinformasi”. https://kominfo.go.id
Siti Kamelia Putri, Mahasiswa Universitas Pamulang, Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi.