Belakangan ini, istilah teknologi ramah lingkungan semakin sering kita dengar. Dari mobil listrik, panel surya, hingga produk dengan label eco-friendly, semuanya diklaim sebagai upaya menyelamatkan bumi. Tapi di balik maraknya gaya hidup hijau, muncul pertanyaan penting: apakah teknologi ramah lingkungan benar-benar menjadi solusi, atau justru hanya tren baru yang kita ikuti tanpa sadar?
Teknologi Hijau dan Harapan Baru bagi Bumi
Krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan ia sudah terjadi saat ini. Cuaca ekstrem, polusi udara, dan kenaikan suhu global menjadi bukti bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja. Teknologi ramah lingkungan hadir sebagai harapan baru. Banyak pihak percaya, inovasi hijau dapat membantu menekan emisi karbon dan memperbaiki kerusakan alam yang telah terjadi.
Indonesia pun ikut berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060. Salah satu langkah utamanya adalah mendorong energi terbarukan dan transportasi rendah emisi seperti mobil listrik. Namun, di balik kemajuan itu, kita perlu jujur bertanya: apakah semua teknologi yang disebut “ramah lingkungan” benar-benar bebas dari dampak negatif?
Jejak Hijau yang Tak Selalu Bersih
Mobil listrik sering dianggap solusi paling efisien dalam mengurangi polusi. Namun, proses produksinya justru masih menimbulkan masalah baru. Baterai mobil listrik membutuhkan bahan tambang seperti litium, kobalt, dan nikel yang penambangannya dapat merusak lingkungan dan menimbulkan konflik sosial di beberapa daerah.
Ironisnya, Indonesia termasuk salah satu negara pemasok nikel terbesar di dunia. Artinya, di balik upaya menciptakan teknologi hijau global, ada risiko kerusakan ekosistem yang terjadi di negeri sendiri. Fenomena ini disebut hidden footprint jejak lingkungan tersembunyi yang jarang dibicarakan publik.
Hal serupa terjadi pada industri mode berkelanjutan. Banyak merek menggunakan label eco-friendly untuk menarik konsumen, padahal sistem produksinya masih menghasilkan limbah dan emisi tinggi. Akibatnya, konsep “hijau” berubah menjadi strategi pemasaran, bukan gerakan nyata untuk menjaga bumi.
Ketika “Hijau” Jadi Tren Gaya Hidup
Tak bisa dipungkiri, gaya hidup hijau kini sering menjadi simbol modernitas. Orang membawa tumbler, memakai totebag, atau membeli barang berbahan daur ulang—semuanya terlihat positif. Namun, jika dilakukan hanya karena tren, nilai keberlanjutannya bisa hilang.
Fenomena ini dikenal sebagai green consumerism—membeli produk hijau bukan karena kesadaran lingkungan, tetapi demi citra sosial. Padahal, menjaga bumi tidak harus selalu dengan membeli produk baru. Justru yang paling penting adalah mengurangi konsumsi berlebihan, memperbaiki barang lama, dan mendukung produk lokal yang lebih ramah lingkungan.
Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak dini, agar generasi muda memahami bahwa keberlanjutan sejati bukan tentang gaya hidup, tapi tentang tanggung jawab terhadap alam.
Teknologi Hijau Harus Adil dan Inklusif
Satu hal yang sering luput dari perhatian adalah persoalan akses. Tidak semua orang mampu membeli mobil listrik atau panel surya. Harga yang masih tinggi membuat teknologi ramah lingkungan terasa eksklusif. Padahal, keberlanjutan sejati seharusnya bisa dijangkau oleh semua kalangan.
Pemerintah perlu berperan aktif dalam memastikan transisi energi bersih ini berjalan adil. Misalnya, dengan memperluas subsidi energi terbarukan, memberi insentif bagi UMKM yang menggunakan bahan ramah lingkungan, dan mengembangkan infrastruktur pengisian kendaraan listrik di daerah.
Selain itu, kolaborasi antara akademisi, pelaku industri, dan masyarakat juga penting untuk memastikan teknologi hijau benar-benar berorientasi pada keadilan sosial, bukan sekadar efisiensi ekonomi.
Peran Individu dalam Perubahan Besar
Perubahan tidak akan berarti tanpa keterlibatan individu. Teknologi hanyalah alat, sementara manusialah yang menentukan arah penggunaannya.
Kita bisa mulai dari hal kecil: menghemat energi di rumah, membawa botol minum sendiri, mengurangi plastik sekali pakai, atau menggunakan transportasi umum. Langkah sederhana ini mungkin terlihat kecil, tapi jika dilakukan bersama-sama, dampaknya sangat besar.
Menjadi hijau bukan soal mengikuti tren, melainkan membangun kebiasaan. Karena bumi tidak menunggu teknologi baru ia menunggu manusia yang mau berubah
Dari Tren ke Kesadaran
Teknologi ramah lingkungan memang membawa harapan besar. Tapi tanpa kesadaran yang tulus, semua inovasi itu hanya akan menjadi tren yang lewat begitu saja.
Bumi tidak butuh lebih banyak produk hijau, bumi butuh manusia yang lebih bijak.
Karena masa depan planet ini tidak ditentukan oleh seberapa canggih teknologi kita, tapi seberapa besar rasa tanggung jawab kita terhadap kehidupan di dalamnya.
(Penulis: Tresya Dian Natasyah, Esti Susiloningsih dan Dwi Cahaya Nurani mahasiswa Universitas Sriwijaya (Unsri), Sumatera Selatan, Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar).
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”