Bagi sebagian orang, café bukan lagi sekadar tempat minum kopi. Ia telah menjelma menjadi third place—ruang ketiga setelah rumah dan tempat kerja—yang menawarkan suasana nyaman untuk bekerja, bersosialisasi, bahkan mencari inspirasi. Fenomena ini semakin terlihat di kota-kota besar, di mana mobilitas tinggi dan gaya hidup urban membuat orang membutuhkan “persinggahan” yang hangat di luar rutinitas.
Dari Tempat Nongkrong ke Ruang Interaksi Sosial
Konsep third place pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Ray Oldenburg, menggambarkan ruang publik informal yang mendorong interaksi sosial dan rasa kebersamaan. Kini, café modern mengambil peran itu, menyediakan tempat yang memadukan kenyamanan, koneksi internet, dan suasana estetik.
Di tengah keterbatasan ruang publik, café menjadi lokasi favorit pekerja lepas, mahasiswa, hingga komunitas kreatif. Suara mesin kopi dan aroma biji yang diseduh menciptakan suasana yang mendukung produktivitas sekaligus relaksasi.
Fungsi Ekonomi dan Budaya
Bukan hanya soal minum kopi, third place versi modern juga berfungsi sebagai penggerak ekonomi lokal. Café menjadi wadah promosi produk UMKM, panggung acara musik akustik, hingga lokasi pameran seni kecil-kecilan.
Secara budaya, café ikut membentuk identitas sebuah kota. Gaya interior, menu, dan konsep pelayanan sering kali merefleksikan tren serta karakter masyarakat setempat. Tidak heran, café kini menjadi bagian dari “peta sosial” sebuah daerah.
Antara Kenyamanan dan Komodifikasi
Meski begitu, ada kritik bahwa third place modern kadang hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu. Harga menu yang relatif tinggi atau lokasi di pusat kota membuatnya kurang inklusif. Selain itu, komersialisasi ruang sosial berpotensi menggeser makna awal third place sebagai tempat yang benar-benar terbuka bagi semua kalangan.
Tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara fungsi bisnis dan nilai sosial. Café yang ingin mempertahankan peran sebagai third place perlu memastikan ruangnya ramah, inklusif, dan tidak sekadar menjadi latar foto di media sosial.
Kesimpulan
Fenomena third place di café menunjukkan bahwa manusia modern tetap membutuhkan ruang fisik untuk berkumpul dan berinteraksi, meski teknologi sudah menyediakan koneksi virtual tanpa batas.
Di tengah hiruk pikuk kota, secangkir kopi di café bisa lebih dari sekadar minuman—ia bisa menjadi alasan untuk berhenti sejenak, berbagi cerita, dan membangun relasi nyata di luar layar.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”