Muara Muntai Ilir—Hari besar yang seharusnya disambut dengan damai justru berubah menjadi panggung kekerasan yang mencoreng akal sehat dan keadilan. Kepala Desa Muara Muntai Ilir, Arifadin Nur, babak belur dihajar sekelompok preman saat tengah menggelar acara halal bihalal sederhana di rumahnya, Minggu (8/6/2025). Ironisnya, hingga kini, aparat penegak hukum justru memilih bungkam, seolah tak terjadi apa-apa.
Dalam kejadian itu, Arifadin dan perangkat desa lainnya tengah berkumpul secara damai dengan tokoh masyarakat dan ibu-ibu warga sekitar. Tidak ada agenda rahasia, tidak ada provokasi. Hanya silaturahmi khas Iduladha. Namun, mendadak situasi berubah brutal ketika segerombolan orang menyerbu dan menghancurkan rumah Kades. Jendela dipecahkan, pemilik rumah dihajar tanpa ampun, hanya karena isu yang sama sekali tidak berdasar.
Arifadin disebut-sebut sebagai biang kerok masuknya Pelindo ke wilayah mereka—padahal kehadiran BUMN tersebut merupakan penugasan resmi dari kementerian. Tapi fakta ini tampaknya tidak penting bagi para penyerang, yang sebagian besar bukan warga setempat, melainkan “import” dari luar daerah.
Yang lebih mencengangkan, penyerangan ini jelas bukan tindakan spontan. Para pelaku datang membawa alat, siap tempur, menunjukkan bahwa ini adalah aksi terencana. Arifadin dihajar pakai balok kayu, tubuhnya penuh luka dan lebam. Salah satu perangkat desa bahkan mengalami luka serius di kepala karena berusaha melindungi pimpinannya.
Namun, yang paling menyakitkan bukanlah luka fisik. Tapi sikap aparat yang lebih mirip penonton ketimbang penegak hukum. Laporan sudah dibuat. Bukti dan saksi sudah ada. Para pelaku pun sudah dikenali. Tapi sampai detik ini, mereka tetap bebas, tanpa satu pun yang ditangkap atau diproses secara hukum.
Kapolsek dan sejumlah pejabat setempat lebih memilih diam. Tak ada upaya penegakan hukum. Tak ada keadilan. Yang ada justru tekanan terhadap warga yang berani bersuara di media sosial. Upaya pembungkaman perlahan muncul, seolah mereka takut pada suara kebenaran.
Pertanyaan besar pun menggantung di langit Muara Muntai: apa benar hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Apakah kekerasan bisa dibiarkan begitu saja hanya karena pelakunya punya “orang kuat” di belakangnya?
Kepala desa hanya menjalankan tugas negara, tapi malah diperlakukan seperti penjahat. Sementara aparat yang seharusnya melindungi warga malah menghindari tanggung jawab. Ini bukan sekadar kelalaian, ini adalah bentuk nyata pembiaran yang memalukan.
Jika hukum tidak mampu melindungi warganya yang menjadi korban, untuk apa kita percaya pada institusi hukum? Untuk apa ada aparat, jika mereka hanya jadi pelengkap penderitaan?