Keputusan pemerintah untuk mengedepankan diskusi mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana, yang sebelumnya tertunda di masa DPR yang lalu, menunjukkan pengakuan terhadap kegagalan legislasi sebelumnya. Namun, kebutuhan yang didorong oleh tenggat waktu politik ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah percepatan dalam pembuatan undangundang ini akan menghasilkan peraturan yang sah dan efektif, atau hanya sekadar solusi sementara? Dari sudut pandang Ilmu Pemerintahan, penundaan legislasi yang disengaja seperti RUU yang mengharmonisasi KUHP bukan hanya isu teknis, melainkan juga cermin dari disfungsi pengelolaan yang dapat mengancam kepastian hukum. Pendapat ini menekankan bahwa jika pembahasan RUU ini tidak mengedepankan prinsip Akuntabilitas Deliberatif, kita berisiko membuat undang-undang yang cepat, namun berkualitas rendah.
UU ini mengungkapkan kelemahan dalam Teori Siklus Kebijakan. Teori ini menekankan bahwa keberhasilan penerapan hukum sangat bergantung pada diselesaikannya tahap Legitimasi. Siklus kebijakan kita terhambat. RUU ini seharusnya menjadi penghubung harmonisasi setelah disahkannya KUHP baru, tetapi kini menjadi titik lemah struktural. Kegagalan DPR masa lalu dalam menyelesaikan RUU ini adalah kegagalan bukan hanya dari sisi prosedural, tetapi juga dalam menjamin akuntabilitas horizontal yakni tanggung jawab antara lembaga negara (Eksekutif dan Legislatif) dalam melaksanakan tugas konstitusional. Kegagalan dalam koordinasi ini merupakan ancaman serius terhadap efektivitas pemerintah.
Argumen paling kuat terhadap pembahasan RUU yang terburu-buru berakar pada Teori Legitimasi Rasional-Legal yang diusulkan oleh Max Weber. Legitimasi suatu produk hukum sangat terkait dengan proses yang rasional dan transparan. RUU Penyesuaian Pidana akan merevolusi tatanan hukum pidana secara signifikan. Apabila pembahasan dilakukan secara rahasia selama masa peralihan kekuasaan, tanpa mendengarkan suara publik, atau dikuasai oleh kepentingan politik jangka pendek, legitimasi hukum baru tersebut akan dipertanyakan. Ketidakpastian hukum yang muncul dari proses yang terburu-buru akan merusak prinsip Kepastian Hukum, yang merupakan pilar utama dalam Good Governance. Dengan kata lain, pemerintah harus memilih antara mempercepat tindakan politik saat ini atau menjaga legitimasi hukum yang berkelanjutan. Pilihan yang pertama dapat menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.
Agar RUU Penyesuaian Pidana bisa berubah dari risiko menjadi kesempatan, pembahasan harus berlandaskan pada prinsip Akuntabilitas Deliberatif. Prinsip ini menuntut supaya kebijakan tidak hanya akuntabel dari segi prosedur (sesuai dengan undang-undang), tetapi juga harus melalui musyawarah yang luas dan inklusif.
Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR diminta untuk melakukan tiga langkah sebagai penguat argumen ini:
1. Hentikan Tekanan Deadline: Alihkan perhatian dari pencapaian tenggat waktu politik menjadi pencapaian kualitas substansi hukum. Pembahasan seharusnya didasarkan pada kebutuhan yudisial, bukan oleh agenda politik.
2. Partisipasi yang Nyata: Gelar konsultasi publik yang sejati dengan para akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil. Pendapat publik perlu dimasukkan ke dalam naskah akademis RUU, memastikan bahwa RUU ini sesuai dengan prinsip Responsiveness dan Consensus Oriented dalam pengelolaan.
3. Integrasi Hasil: Pemerintah perlu menjamin bahwa RUU ini tidak hanya menyelesaikan harmonisasi di atas kertas, tetapi juga mempersiapkan infrastruktur implementasi untuk aparat penegak hukum. Legalitas tanpa kapabilitas adalah kebijakan yang tidak berguna.
Dengan menerapkan Akuntabilitas Deliberatif, RUU Penyesuaian Pidana dapat menjadi contoh bahwa proses legislasi di Indonesia mampu menghasilkan hukum yang berkualitas tinggi, dapat dipercaya, dan efektif merupakan syarat mutlak bagi tercapainya Good Governance.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”