Klawoton, Papua Barat Daya – Sudah lebih dari satu dekade, warga Kampung Klawoton, Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, merasakan pahitnya hidup di tengah infrastruktur jalan yang memprihatinkan. Jalan yang dikenal sebagai akses Petrogas ini, sejak tahun 2014 hingga kini, tak menunjukkan tanda-tanda perbaikan, meskipun sumber daya alam di wilayah mereka terus dieksploitasi.
Kondisi jalan yang berlumpur, berlubang, dan sulit dilalui ini telah berulang kali diusulkan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Distrik sejak tahun 2016 hingga 2025. Namun, harapan akan perubahan tak kunjung tiba. “Kami sudah sampaikan berkali-kali, tapi tidak ada tindak lanjut,” ujar salah seorang warga dengan nada putus asa.
Dampak dari jalan rusak ini sangat terasa dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Klawoton. Akses pendidikan terhambat, siswa kesulitan menjangkau sekolah terutama saat musim hujan. Layanan kesehatan juga ikut terganggu, mobilisasi pasien ke fasilitas kesehatan menjadi lebih lama dan sulit, bahkan bisa membahayakan nyawa.

Secara ekonomi, roda perekonomian rakyat terhambat. Petani dan pelaku usaha kesulitan mengangkut hasil bumi mereka ke pasar, sehingga merugikan pendapatan. Lebih jauh, pembangunan di kampung pun mandek, karena pengiriman material dan akses bagi pekerja menjadi sangat sulit. Bahkan, berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan ikut terhambat, mengurangi interaksi dan kemajuan kolektif.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan bagi masyarakat adat yang tanahnya menjadi sumber kekayaan alam, namun hak-hak dasar mereka, seperti akses infrastruktur yang layak, justru terabaikan. Warga Klawoton berharap pemerintah daerah dan pihak terkait segera merespons keluhan mereka dan mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki jalan, demi masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat.
Terabaikannya akses infrastruktur yang layak bagi masyarakat adat, khususnya di Klawoton, memunculkan pertanyaan besar mengenai keadilan. Bagaimana mungkin tanah ulayat mereka menjadi sumber kekayaan alam, sementara hak-hak dasar mereka seperti jalan yang layak justru dikesampingkan?
Kesenjangan Pembangunan di Klawoton: Kekayaan Alam Berlimpah, Infrastruktur Minim.
Situasi ironis tengah menyelimuti masyarakat adat di Klawoton. Meskipun wilayah mereka kaya akan sumber daya alam yang terus dieksploitasi, warga Klawoton justru harus menghadapi kenyataan pahit berupa minimnya akses infrastruktur dasar, terutama jalan yang memadai. Kondisi ini bukan hanya menghambat aktivitas sehari-hari, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan bagi mereka yang tanahnya menjadi penopang ekonomi daerah.
Jalanan yang rusak parah dan sulit dilalui menjadi pemandangan umum di Klawoton. Padahal, melalui jalur inilah berbagai hasil alam diangkut, memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan daerah. Namun, ironisnya, keuntungan dari kekayaan alam tersebut tidak berbanding lurus dengan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat setempat, seperti akses jalan yang layak.
Warga Klawoton menyuarakan kekecewaan mereka. “Kami berharap pemerintah daerah dan pihak terkait segera merespons keluhan kami dan mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki jalan,” tutur salah seorang warga dengan nada prihatin. “Demi masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat, akses infrastruktur yang layak adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.”
Kondisi ini menyoroti kesenjangan pembangunan yang masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia, terutama bagi masyarakat adat.
Pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait dituntut untuk segera mengevaluasi ulang kebijakan pembangunan agar lebih berpihak pada keadilan dan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang selama ini menjadi penjaga dan pemilik sah sumber daya alam. Perbaikan jalan di Klawoton bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan simbol komitmen terhadap keadilan sosial.