Globalisasi membuat arus informasi dan budaya bergerak dengan sangat cepat. Gaya hidup modern yang cenderung seragam sering kali membuat budaya lokal terlihat “kurang menarik” atau dianggap tidak relevan bagi generasi muda. Padahal, seperti yang dikatakan Koentjaraningrat bahwa “kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang dijadikan milik manusia melalui belajar”. Kutipan ini menegaskan bahwa budaya tidak bisa hidup sendiri. Ia memerlukan manusia, terutama masyarakat lokal, untuk menjaganya tetap bernyawa. Karena itulah, pelestarian budaya di tengah globalisasi sangat bergantung pada orang-orang yang tumbuh, hidup, dan berinteraksi langsung dengan tradisi itu.
Masyarakat lokal memegang peran paling dasar dalam pewarisan budaya. Dalam keluarga, tradisi biasanya dikenalkan melalui kebiasaan kecil seperti bahasa, tata krama, cara berpakaian, atau ritual tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua yang masih mempertahankan kebiasaan tradisional telah memberikan pondasi kuat bagi anak-anak untuk mengenal identitas mereka. Seorang budayawan, Umar Kayam, pernah mengatakan bahwa “identitas budaya hanya bertahan ketika ia dihayati, bukan hanya dihafal”. Artinya, budaya baru bisa diwariskan apabila benar-benar dijalani, bukan sekadar diceritakan. Karena itu, pelestarian budaya tidak selalu membutuhkan acara besar. Aktivitas sederhana dalam keluarga pun sudah menjadi bentuk penyelamatan budaya.
Selain keluarga, komunitas dan lembaga adat menjadi tulang punggung pelestarian budaya. Melalui sanggar tari, kelompok musik tradisional, atau organisasi adat, masyarakat lokal tidak hanya mempelajari budaya, tetapi juga menghidupkannya melalui latihan, pementasan, dan ritual tertentu. Komunitas seperti ini memberi ruang bagi generasi muda untuk tetap terhubung dengan identitas mereka. Bahkan ketika anak-anak remaja lebih tertarik pada budaya global, kehadiran komunitas budaya mampu mengembalikan rasa bangga terhadap tradisi lokal. Banyak sanggar kini membuat kemasan latihan yang lebih kreatif agar tidak terkesan “kuno” sehingga lebih mudah diterima generasi digital.

Pelestarian budaya di era globalisasi tidak harus terjebak pada upaya mempertahankan bentuk aslinya secara kaku. Adaptasi menjadi salah satu strategi penting. Masyarakat lokal sering memadukan elemen tradisional dengan gaya modern agar tetap relevan misalnya musik daerah yang dikolaborasikan dengan instrumen modern, atau busana adat yang didesain lebih praktis. Adaptasi seperti ini tidak menghilangkan nilai budaya, tetapi justru memperluas jangkauan penerimanya. Sebagaimana dikatakan oleh Clifford Geertz bahwa “budaya adalah jaringan makna yang ditenun oleh manusia sendiri”. Maka, selama nilai dasarnya dipertahankan, perubahan bentuk bukanlah ancaman, melainkan proses alamiah.
Teknologi juga menjadi senjata baru bagi masyarakat lokal dalam melestarikan budaya. Banyak anak muda kini mengunggah tarian daerah, proses membuat batik, atau cerita rakyat ke media sosial. Video pendek yang disebarkan ke TikTok atau Instagram bisa dilihat oleh ribuan orang dalam waktu singkat. Hal ini membuka peluang besar bagi budaya lokal untuk dikenal secara global. Dokumentasi digital juga menjadi cara yang efektif untuk mencegah hilangnya tradisi. Praktik budaya yang sebelumnya hanya diturunkan secara lisan kini dapat direkam, disimpan, dan dipelajari kembali oleh siapa pun.
Menurut saya, pelestarian budaya di era globalisasi bukan lagi soal mempertahankan masa lalu, tetapi bagaimana membuat tradisi tetap relevan bagi generasi sekarang. Kita sering membayangkan budaya sebagai sesuatu yang harus disimpan seperti benda museum, padahal budaya baru hidup kalau dijalani. Karena itu, peran masyarakat lokal tidak bisa digantikan oleh pemerintah atau lembaga mana pun. Merekalah yang paling memahami nilai, konteks, dan makna dari setiap praktik budaya.
Pada beberapa daerah, budaya lokal semakin kokoh karena dihubungkan dengan sektor pariwisata. Ketika budaya menjadi daya tarik wisata, masyarakat lokal tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mendapat manfaat ekonomi. Pariwisata berbasis budaya dapat meningkatkan rasa kepemilikan masyarakat karena mereka merasa tradisi yang dijalankan membawa dampak positif dalam kehidupan mereka.
Ketika pariwisata mulai berkembang, masyarakat tidak mengubah identitas mereka demi wisatawan. Sebaliknya, mereka menetapkan aturan agar budaya tetap dihormati. Misalnya, wisatawan hanya boleh memasuki wilayah tertentu dan harus mengikuti norma yang berlaku. Pendekatan ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal berperan aktif menjaga budaya mereka agar tidak kehilangan makna. Bahkan, keberhasilan Penglipuran sering dijadikan contoh bagaimana pelestarian budaya dapat berjalan berdampingan dengan modernitas tanpa harus mengorbankan identitas.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”









































































