Di dunia digital sekarang, hampir semua urusan berpindah ke kolom chat. Kita mengatur jadwal, memberi kabar baik, menyampaikan berita buruk, sampai menyelesaikan masalah hanya lewat teks. Praktis memang, tetapi komunikasi digital punya satu kelemahan besar. Pesan yang sama bisa terbaca berbeda oleh orang yang berbeda.
Banyak orang mengira masalahnya ada pada gaya menulis atau pilihan kata. Padahal, persoalannya lebih dalam dari itu. Saat kita mengirim pesan teks, kita kehilangan tiga elemen penting yang biasanya memberi petunjuk emosional yaitu nada suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh. Tanpa ketiganya, otak penerima harus menebak maksud di balik kata yang tampilnya datar.
Emoji lalu muncul sebagai alat bantu untuk mengembalikan sedikit ekspresi yang hilang. Emoji bekerja seperti ekspresi wajah digital. Namun maknanya tidak selalu sama bagi semua orang. Ada yang membaca emoji senyum sebagai tanda keramahan, ada juga yang menganggapnya sebagai sindiran halus. Makna simbol visual ternyata sangat bergantung pada usia, budaya digital, dan kedekatan hubungan.
Kedekatan hubungan memang berpengaruh besar. Pesan dari teman dekat biasanya terasa ringan dan mudah dimaklumi. Kita memberi ruang interpretasi yang lebih luas karena sudah mengenal gaya mereka. Sebaliknya, pesan dari rekan kerja atau orang baru terasa lebih formal dan mudah disalahpahami. Hubungan sosial kita membentuk cara membaca pesan.
Nilai emosional pesan juga ikut menentukan. Pesan positif biasanya cocok dengan emoji atau gaya santai. Tetapi saat menyampaikan kabar serius, penggunaan emoji bisa membuat pesan menjadi ambigu. Jika teks dan simbol tidak selaras, penerima akan menafsirkan sesuai perasaannya sendiri. Hasilnya, makna bisa melenceng jauh dari maksud pengirim.
Faktor psikologis juga tidak bisa dilepaskan. Orang dengan empati tinggi cenderung lebih peka terhadap nuansa teks. Mereka menimbang konteks dan emosi sebelum menafsirkan makna. Sementara perbedaan generasi membuat jarak pemahaman semakin besar. Pengguna muda memakai emoji dengan makna ganda atau humor internal, sedangkan generasi yang lebih tua membaca simbol secara harfiah. Perbedaan ini memunculkan kesenjangan interpretasi dalam percakapan sehari-hari.
Ada pula fenomena yang sering muncul. Pengirim pesan biasanya merasa dirinya sudah jelas. Kita sering yakin bahwa penerima akan mengerti maksud kita. Keyakinan ini membuat kita lupa bahwa penerima tidak membaca pesan dengan latar pikiran yang sama. Sementara itu, penerima biasanya lebih realistis dalam menilai apakah pesan mudah dipahami atau tidak. Jurang antara keyakinan pengirim dan kenyataan inilah yang menciptakan banyak kesalahpahaman.
Fenomena ini makin terlihat jelas dalam contoh kehidupan nyata. Misalnya, ketika ketua panitia mengirim pesan singkat seperti “Besok datang ya.” Bagi anggota yang sudah dekat, pesan itu terdengar santai dan biasa saja. Tetapi bagi anggota baru, kalimat yang sama bisa terasa seperti perintah atau tekanan. Padahal pengirimnya hanya terburu-buru.
Contoh lain muncul ketika seorang teman yang jarang membalas chat tiba-tiba menulis “Kita perlu ngomong.” Sebagian orang membacanya sebagai pesan serius, bahkan menegangkan. Tetapi bagi si pengirim, itu hanya ajakan untuk bertemu dan bercerita. Kepribadian, riwayat hubungan, dan kebiasaan berbicara membentuk cara setiap orang membaca kalimat yang sama.
Penggunaan emoji juga bisa memicu ketegangan kecil. Banyak anak muda menganggap emoji jempol sebagai tanda persetujuan. Namun beberapa orang membaca simbol itu sebagai gestur dingin atau sarkastik. Bahkan pernah ada grup kerja yang tegang hanya karena satu emoji dianggap berbeda maknanya. Ada juga yang memakai emoji senyum sebagai tanda sopan, tetapi penerimanya merasa itu seperti senyum terpaksa. Situasi seperti ini terjadi sehari-hari tanpa kita sadari.
Dalam dunia kerja, salah tafsir pesan bisa berakibat panjang. Seorang dosen bisa mengirim pesan singkat seperti “Tolong revisi.” Bagi mahasiswa yang terbiasa, itu pesan standar. Namun bagi mahasiswa yang cemas atau belum akrab, pesan itu terdengar seperti teguran keras. Padahal isinya hanya instruksi akademik.
Di rumah pun, sering terjadi hal serupa. Orang tua biasanya menulis chat dengan gaya singkat, misalnya “Pulang sekarang.” Niatnya adalah perhatian dan kekhawatiran. Tetapi anak membacanya sebagai perintah keras. Dua generasi membaca pesan yang sama dengan dua sudut pandang yang berbeda.
Dari berbagai contoh itu, kita belajar bahwa teks tidak pernah benar-benar netral. Teks selalu dipengaruhi oleh relasi, emosi, pengalaman, dan budaya digital. Karena itu, komunikasi digital yang sehat memerlukan tiga sikap utama yaitu memperjelas maksud, menahan asumsi, dan memperluas empati. Memperjelas maksud berarti menulis dengan terang terutama dalam situasi penting. Menahan asumsi berarti tidak langsung menafsirkan pesan dengan emosi sesaat. Memperluas empati berarti melihat kemungkinan bahwa pengirim tidak bermaksud negatif.
Ketika tiga sikap ini diterapkan, percakapan digital menjadi lebih ringan. Hubungan kerja terasa lebih harmonis, pertemanan lebih hangat, dan kesalahpahaman dapat berkurang. Pada akhirnya, kualitas komunikasi digital ditentukan oleh cara kita memahami manusia di balik layar.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































