Menjelang KTT G20 yang diselenggarakan di Johannesburg pada 21 November 2025, Afrika Selatan tidak hanya menjadi pusat pertemuan para pemimpin dunia, tetapi juga pusat perhatian internasional karena sebuah gerakan sosial besar: G20 Women’s Shutdown. Gerakan ini merupakan aksi solidaritas nasional yang berupaya menyuarakan krisis kekerasan berbasis gender dan femicide (GBVF) yang telah lama membayangi kehidupan perempuan di Afrika Selatan.
Berbeda dari aksi protes konvensional, G20 Women’s Shutdown memilih pendekatan yang unik yakni, mengajak perempuan untuk menghentikan aktivitas sehari-hari, baik pekerjaan berbayar maupun tidak berbayar, sebagai cara untuk menunjukkan betapa berpengaruhnya peran perempuan dalam menopang kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga. Dengan menyoroti “ketidak-hadiran” para perempuan, gerakan ini ingin membuat negara “terhenti” sejenak dan memaksa publik untuk melihat krisis yang selama ini diabaikan.
Gerakan yang Lahir dari Rasa Darurat Sosial
G20 Women’s Shutdown digagas oleh Women For Change, sebuah organisasi global yang berfokus pada pemberdayaan perempuan untuk mendorong perubahan positif, seperti mengadvokasi hak-hak Perempuan dan melawan kekerasan berbasis gender (GBV). Organisasi ini secara rutin merilis laporan, melakukan kampanye sosial, dan mendampingi korban kekerasan, namun pada 2025 mereka merasa perlu melakukan langkah ekstra besar.
Dengan statistik yang sangat mengkhawatirkan, menurut survei South African Medical Research Council, sekitar 7 perempuan dibunuh setiap hari di Afrika Selatan, menunjukkan tingkat femicide yang termasuk salah satu tertinggi di dunia. Women For Change menilai bahwa pemerintah tidak meresponsnya dengan skala yang memadai.
Aksi ini dinamakan G20 Women’s Shutdown bukan karena ia bagian dari agenda G20, tetapi karena gerakan tersebut ingin memanfaatkan momentum KTT internasional tersebut. Saat perhatian dunia tertuju pada Afrika Selatan, inilah waktu yang tepat untuk menunjukkan pada para pemimpin global bahwa negara tersebut sedang menghadapi krisis kemanusiaan yang menimpa perempuan secara masif.
Bentuk Aksi: Solidaritas Melalui Penghentian Aktivitas
Aksi ini memiliki konsep utama: solidaritas melalui penghentian aktivitas. Para peserta diajak untuk : berhenti bekerja selama satu hari, tidak berbelanja atau melakukan aktivitas ekonomi, mengenakan pakaian hitam sebagai simbol perlawanan dan berkabung, mengubah foto profil media sosial menjadi warna ungu, dan berpartisipasi dalam “15-Minute Standstill” pada pukul 12.00 siang, yaitu berbaring selama 15 menit untuk menghormati 15 perempuan yang dibunuh setap harinya dan membuat Afrika Selatan berhenti total.
Pendekatan ini menarik karena ia menggabungkan elemen simbolik, emosional, dan strategis. Jika perempuan berhenti bekerja, berhenti mengurus rumah, berhenti melakukan praktik sosial, maka masyarakat dapat secara langsung merasakan “ketidakhadiran” mereka. Aksi ini tidak hanya menunjukkan kegetiran hidup perempuan, tetapi juga ketergantungan masyarakat terhadap kerja mereka baik yang terlihat maupun yang selama ini tidak dihargai.
Pada hari aksi berlangsung, gelombang solidaritas tampak di berbagai wilayah. Banyak sekolah, universitas, kantor, hingga organisasi masyarakat sipil mengizinkan atau bahkan mendorong pegawainya untuk berpartisipasi. Foto-foto warna ungu memenuhi media sosial, menjadikan gerakan ini trending di dalam dan luar Afrika Selatan. Di beberapa kota besar, kelompok perempuan berkumpul di ruang publik untuk melakukan 15 menit hening bersama, membawa poster bertuliskan tuntutan seperti “Stop Killing Us”, “GBV Is a National Crisis”, dan “We Are Not Safe”. Meskipun tidak semua orang menghentikan kegiatan total, aksi ini tetap mencerminkan kesadaran kolektif bahwa perempuan sedang berada dalam situasi tidak aman.
Partisipasi tidak hanya datang dari perempuan. Banyak laki-laki, aktivis LGBTQI+, tokoh agama, hingga organisasi besar seperti Nelson Mandela Foundation juga menyatakan dukungan. Hal ini menunjukkan bahwa G20 Women’s Shutdown bukan sekadar gerakan perempuan, tetapi gerakan masyarakat untuk melawan ketidakadilan struktural.
Hasil Nyata: Pengakuan sebagai Krisis Nasional
Inti dari aksi ini adalah tuntutan agar pemerintah mengakui kekerasan berbasis gender dan femicide sebagai krisis nasional. Tuntutan ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang bagaimana kekerasan berbasis gender tidak bisa diselesaikan hanya melalui kampanye moral atau penangkapan sporadis. GBVF merupakan masalah struktural yang terkait dengan budaya patriarki, ketimpangan ekonomi, lemahnya penegakan hukum, dan trauma sosial yang menumpuk.
Pada akhirnya, tekanan yang konsisten membuahkan hasil. Pemerintah Afrika Selatan mengumumkan bahwa kekerasan berbasis gender dan femicide akan diklasifikasikan sebagai “krisis nasional”. Pengakuan ini sangat penting karena membuka pintu untuk perubahan kebijakan, pendanaan, dan program intervensi yang lebih serius. Dengan status “national disaster”, negara tidak lagi bisa menangani GBVF secara biasa, melainkan harus menjalankan respons darurat layaknya penanganan bencana alam, pandemi, atau krisis nasional lainnya. Ini merupakan titik balik yang mendorong pembakuan kebijakan lebih kuat dan alokasi sumber daya yang lebih strategis.
G20 Women’s Shutdown memberi pelajaran penting tentang bagaimana solidaritas dapat menjadi strategi perlawanan yang efektif. Dengan pendekatan kolektif, simbolik, dan terencana, gerakan ini berhasil mengubah rasa sakit yang dialami banyak perempuan menjadi kekuatan sosial yang memengaruhi kebijakan negara. Gerakan ini menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari ruang rapat politik. Ia sering kali dimulai dari keberanian warga biasa, dari orang-orang yang memilih untuk tidak diam, dari perempuan yang saling menjaga satu sama lain. G20 Women’s Shutdown menjadi bukti bahwa ketika solidaritas menyala, ia dapat membuat dunia berhenti sejenak dan kemudian bergerak ke arah yang lebih adil.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”







































































