Di era ketika informasi berseliweran dalam hitungan detik, publik tak lagi pasif menyaksikan kontradiksi moral para elite. Fenomena terkini tentang ulama yang merangkap investor atau pejabat korporasi tambang, berhadapan dengan netizen yang terus mengkritik lewat media sosial, menyingkap satu babak baru dalam relasi kuasa, agama, dan kapital. Salah satu potret terhangat muncul dari sorotan publik terhadap KH. Fahrur Rozi, yang belakangan ramai diperbincangkan karena menjabat sebagai Komisaris Independen di PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk, yang bergerak di sektor pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dalam pernyataan resminya, Fahrur Rozi menegaskan bahwa kehadirannya di kursi komisaris tidak membawa nama besar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), melainkan sebagai pribadi. Namun, bagi banyak publik yang cermat dan kritis, pernyataan itu justru memantik pertanyaan mendasar: mungkinkah seorang tokoh publik, apalagi ulama, benar-benar memisahkan identitas pribadinya dari simbol institusional yang melekat padanya?
Netizen pun bereaksi cepat. Di jagat maya, pernyataan Fahrur Rozi disebut sebagai “omong kosong” atau bahkan “sampah mulut ulama”. Ungkapan yang keras, tapi mencerminkan kekecewaan kolektif terhadap moralitas publik para pemimpin spiritual yang justru berkelindan dengan kepentingan korporasi, apalagi di sektor yang penuh konflik seperti tambang nikel.
Isu keterlibatan ulama dalam struktur bisnis pertambangan bukan soal baru, namun menjadi sangat sensitif saat dikaitkan dengan kasus PT Gag Nikel. Perusahaan ini sebelumnya telah menuai kritik tajam dari pegiat lingkungan dan masyarakat adat setempat. Dalam laporan Koalisi Masyarakat Sipil Papua Barat (2024), eksplorasi dan eksploitasi tambang di Pulau Gag dinilai mengancam ekosistem hutan tropis dan kelangsungan hidup masyarakat adat Maya. Selain itu, perusahaan ini juga pernah ditolak izinnya oleh Bupati Raja Ampat pada tahun 2013 karena merusak lingkungan dan melanggar prinsip pembangunan berkelanjutan.
Ketika seorang tokoh agama masuk ke dalam struktur kekuasaan korporat seperti ini, publik pantas mempertanyakan etika sosialnya. Apalagi bila ulama tersebut berasal dari organisasi keagamaan besar seperti NU yang dikenal punya sejarah panjang membela kaum mustadh’afin. Maka, tidak heran bila netizen menggugat: apakah ulama hari ini menjadi pelindung rakyat atau justru perpanjangan tangan oligarki?
Fenomena ini memperlihatkan ketegangan antara dua kutub: “Ulama Investor” yang mulai merangkul peran sebagai aktor ekonomi dengan dalih profesionalisme, dan “Netizen Aktivis” yang merepresentasikan suara-suara kritis akar rumput di ruang digital. Bagi sebagian orang, ulama yang merambah ke dunia investasi dianggap bentuk modernisasi peran. Tapi bagi lainnya, itu justru pengkhianatan terhadap idealisme moral keagamaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jabatan komisaris bukan jabatan teknis operasional.
Namun, posisi itu tetap strategis dalam mengarahkan arah perusahaan, termasuk memastikan keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Jika benar ulama duduk di kursi komisaris hanya untuk menyetujui keputusan dewan, tanpa kritik terhadap dampak sosial dan ekologis perusahaan, maka keberadaannya lebih mirip legitimasi moral bagi praktik ekonomi eksploitatif.
keterlibatan elite agama dalam perusahaan tambang menandai berlanjutnya pola koalisi antara kekuatan spiritual dan kapital dalam format baru. Dulu, zaman kolonial Belanda menggunakan “penghulu” dan tokoh adat untuk melegitimasi sistem tanam paksa. Hari ini, kapitalisme modern tidak segan mengakomodasi figur keagamaan sebagai penyangga sosial. Bedanya, kali ini rakyat bisa menggugat lewat media sosial, membuat dinamika kekuasaan tak lagi sepenuhnya satu arah.
Maka, keberanian netizen dalam melawan narasi dominan menjadi penting untuk diperhatikan. Kritik tajam terhadap ulama seperti Fahrur Rozi bukan semata bentuk ketidaksopanan, melainkan ekspresi dari krisis kepercayaan publik terhadap tokoh agama yang tidak berpihak pada nilai keadilan sosial dan ekologis. Netizen hari ini tidak cukup puas dengan fatwa atau ceramah. Mereka ingin transparansi, keberpihakan, dan integritas.
Fenomena “Ulama Investor vs Netizen Aktivis” bukan sekadar polemik personal, tetapi mencerminkan kegelisahan kolektif atas arah moral bangsa.
Apakah tokoh-tokoh agama akan tetap menjadi benteng nilai, atau justru tenggelam dalam gemerlap jabatan dan dividen? Di tengah krisis lingkungan dan konflik sumber daya yang kian masif, publik membutuhkan ulama yang berpihak, bukan yang berdalih.
Jika tidak, maka kritik seperti “pernyataan sampah dari mulut ulama” akan terus bergema, bukan karena rakyat kurang ajar, tetapi karena rakyat sudah muak. Dan mungkin, itu adalah bentuk kejujuran paling murni dari demokrasi digital hari ini.