Kuliah Kerja Nyata (KKN) sejatinya adalah ruang pembelajaran kolektif, tempat mahasiswa menanam nilai-nilai pengabdian, gotong royong, dan kepemimpinan yang humanis. Namun di balik narasi ideal itu, praktik di lapangan justru menunjukkan gejala menyimpang, munculnya kebijakan denda uang dalam internal kelompok, yang kini menjadi semacam alat represi baru. Fenomena ini bukan sekadar soal kedisiplinan, tapi soal bagaimana kekuasaan dijalankan dalam bentuk yang kecil namun menyesakkan.
Dalam beberapa kelompok KKN di kampus Negri/Swasta, kebijakan denda diterapkan untuk hal-hal seperti keterlambatan, ketidakhadiran rapat, hingga “kelalaian” administratif. Sayangnya, keputusan ini kerap dibuat sepihak, tanpa kajian mendalam atau diskusi yang partisipatif. Mahasiswa yang seharusnya menjadi subjek aktif dalam proses belajar malah diposisikan sebagai objek dari aturan-aturan yang kaku dan sering kali bias kekuasaan.
Apa yang dilupakan adalah bahwa KKN bukanlah birokrasi profesional. Ini bukan dunia kerja, bukan institusi formal dengan sistem sanksi gaji atau penalti. KKN adalah ruang belajar yang harusnya mengakomodasi keberagaman latar belakang mahasiswa—termasuk realitas mereka yang berjuang dari sisi ekonomi, sosial, maupun psikologis. Maka ketika seseorang didenda karena terlambat atau absen, apakah kita sungguh sedang mendidik, atau justru sedang mempermalukan dan memberatkan? Praktik denda uang juga membuka ruang gelap: ke mana uang itu mengalir? Siapa yang mengelola? Untuk kepentingan siapa? Transparansi dan akuntabilitas sering absen. Alih-alih menjadi sarana evaluasi, denda berubah menjadi alat kontrol. Dan yang lebih ironis, ini dilakukan oleh sesama mahasiswa sendiri yang seharusnya saling memahami dan menumbuhkan empati.
Ini menciptakan paradoks. Di saat kita turun ke desa untuk “mendidik masyarakat”, kita sendiri gagal membangun budaya dialog dan toleransi dalam kelompok sendiri. Di saat kita bicara soal pemberdayaan warga, kita justru memberangus daya kritis teman satu tim dengan ancaman nominal. KKN seharusnya menjadi ruang simulasi kepemimpinan masa depan. Jika hari ini, dalam lingkup kecil saja kita sudah gemar menghukum, gemar mengatur tanpa diskusi, gemar memaksakan aturan tanpa rasa, bagaimana mungkin kita bicara soal demokrasi, keadilan sosial, atau kepemimpinan etis?
Denda uang dalam KKN bukanlah solusi. Ia hanya cara instan untuk menyembunyikan kegagalan komunikasi, minimnya empati, dan miskinnya pendekatan kolektif. Yang kita butuhkan bukanlah sistem sanksi, tapi sistem dukungan. Bukan pemaksaan, tapi partisipasi. Bukan takut dihukum, tapi sadar bertanggung jawab.
Jika kita ingin KKN menjadi benar-benar “kuliah kerja nyata”, maka nyata pulalah harus nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya. Bukan denda, bukan paksaan, tapi solidaritas yang seharusnya jadi nafas utama.