Oleh: Adinda Retno Kesuma
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
UIN SULTANAH NAHRASIYAH LHOKSEUMAWE TAHUN 2025
Di tengah derasnya arus informasi global, pendidikan Islam berada pada persimpangan antara peluang dan ancaman. Digitalisasi yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem pendidikan, mengubah wajah pembelajaran secara drastis. Proses belajar yang dulunya berlangsung tatap muka kini berpindah ke ruang virtual, dari ruang kelas ke layar gawai. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah pendidikan Islam di era digital masih efektif membentuk akhlak generasi muda Muslim?
1. Digital Keniscayaan yang Tak Terelakkan
Transformasi digital dalam pendidikan bukanlah sekadar tren, melainkan kebutuhan zaman. Laporan We Are Social (2024) mencatat bahwa lebih dari 212 juta penduduk Indonesia sudah menjadi pengguna internet, dengan durasi rata-rata penggunaan mencapai 7 jam per hari. Generasi muda menjadi pengguna dominan, dan pendidikan pun mulai berpindah dari papan tulis ke layar sentuh.
Di satu sisi, ini memberi peluang besar bagi pendidikan Islam. Aplikasi Al-Qur’an digital, kanal dakwah di YouTube, podcast islami, hingga media sosial yang menampilkan konten keislaman, menjadi sumber baru pembelajaran. Materi seperti fiqh, akidah, dan akhlak kini bisa diakses dalam bentuk video singkat, animasi interaktif, bahkan game edukatif Islami.
Namun, digitalisasi juga membawa tantangan besar. Tidak semua konten keislaman yang beredar memiliki validitas ilmiah. Banyak narasi keagamaan dibumbui dengan ideologi radikal, intoleransi, atau sekadar pemahaman sempit terhadap ajaran Islam. Anak muda yang belum memiliki filter keilmuan yang kuat sangat rentan terpapar informasi yang salah.
2. Antara Nilai Spiritual dan Algoritma
Pendidikan Islam bukan sekadar transfer pengetahuan, tapi transformasi kepribadian. Ia mengandung aspek tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), ta’limul kitab wal hikmah (pengajaran ilmu dan kebijaksanaan), dan tahdzibul akhlak (pembinaan akhlak). Tujuan akhirnya adalah melahirkan insan yang rahmatan lil ‘alamin.
Sayangnya, digitalisasi sering kali hanya menekankan aspek kognitif: hafalan dan informasi. Anak-anak diajak menonton video ceramah, mengisi kuis daring, atau sekadar menjawab pertanyaan pilihan ganda. Interaksi emosional dan keteladanan, yang menjadi kunci dalam pembentukan karakter Islami, perlahan hilang dari proses pendidikan.
3. Peran Guru dan Orang Tua: Penjaga Filter Digital
Di era keterbukaan informasi ini, peran guru dan orang tua justru semakin penting. Guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, tetapi menjadi pemandu moral yang mengajarkan bagaimana menyaring, memaknai, dan mengimplementasikan informasi digital dengan bijak.
Guru pendidikan agama Islam harus menjadi teladan (uswah hasanah) dalam perilaku dan komunikasi, baik di dunia nyata maupun digital. Mereka juga harus melek digital, tidak hanya sekadar bisa menggunakan teknologi, tetapi mampu menciptakan konten edukatif Islami yang menarik dan inspiratif.
Begitu pula orang tua. Keluarga adalah madrasah pertama, dan keteladanan orang tua dalam menggunakan media digital sangat berpengaruh. Jika orang tua mampu mendampingi anak dalam memilih tontonan, membahas konten dakwah bersama, dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, maka digitalisasi bisa menjadi alat penguatan akhlak, bukan penghancurnya.
4. Strategi Menuju Pendidikan Islam yang Digital-Nabawi
Untuk mengoptimalkan digitalisasi dalam pendidikan Islam, beberapa strategi dapat diterapkan:
• Integrasi Kurikulum Digital Islami: Sekolah harus merancang kurikulum yang memadukan pembelajaran daring dengan pengalaman nyata, seperti praktik ibadah, kegiatan sosial keislaman, dan pembiasaan adab.
• Pelatihan Guru Digital: Guru agama perlu dilatih agar mampu mengelola media digital secara kreatif dan tetap sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah.
• Kolaborasi Ulama dan Kreator Konten: Dunia dakwah perlu merangkul kreator digital Muslim untuk bersama menciptakan konten Islami yang edukatif, moderat, dan menarik bagi generasi muda.
• Penguatan Literasi Digital Islami: Siswa harus dibekali dengan kemampuan mengenali informasi keagamaan yang kredibel, memahami sanad keilmuan, dan tidak mudah terpengaruh konten provokatif.
Islam dan teknologi, bukan lawan tapi Kawan digitalisasi bukan musuh pendidikan Islam. Ia adalah alat—yang bisa membawa kemaslahatan jika digunakan dengan niat dan cara yang benar. Sudah saatnya pendidikan Islam keluar dari sekadar hafalan ayat dan teori akhlak. Ia harus hadir di ruang digital dengan wajah ramah, inklusif, dan transformatif.
Jika tidak, ruang itu akan diisi oleh narasi-narasi ekstrem, hiburan kosong, dan konten yang menjauhkan generasi muda dari nilai-nilai luhur Islam. Maka, pendidikan Islam digital harus dibangun bukan hanya dengan keahlian teknologi, tapi juga dengan kedalaman ruhaniyah.
Pendidikan Islam bukan sekadar membentuk generasi cerdas, tapi membentuk generasi beradab.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”