Kasus di Prabumulih, Sumatera Selatan, baru-baru ini menjadi sorotan publik. Kepala SMP Negeri 1 Prabumulih, Roni Ardiansyah, dikabarkan terancam dicopot setelah menegur seorang siswa yang membawa mobil ke sekolah. Kebetulan, siswa itu adalah anak Wali Kota Prabumulih, Arlan. Informasi ini menimbulkan kontroversi karena ancaman pencopotan jabatan dianggap sebagai bentuk intervensi yang tidak semestinya dilakukan seorang kepala daerah.
Di salah satu platform media sosial ramai sekali diperbincangkan terkait dikeluarkannya kepala sekolah tersebut. Sehingga menimbulkan banyak protes dari masyarakat, dikarenakan takut berita tersebut menyebar luas Wali Kota Prabumulih kemudian memberikan klarifikasi bahwa tidak ada pencopotan resmi, hanya sebatas teguran lisan. Namun, Kementerian Dalam Negeri tetap turun tangan dengan memberikan teguran tertulis. Kemendagri menegaskan bahwa mutasi atau pencopotan kepala sekolah tidak bisa dilakukan sepihak oleh kepala daerah. Semua ada mekanismenya, mulai dari evaluasi kinerja hingga prosedur administrasi yang harus dilalui sesuai dengan Pasal 28 Permendikbud No. 7 Tahun 2025. Dengan demikian, tindakan emosional yang berujung ancaman jabatan jelas bertentangan dengan aturan birokrasi yang berlaku.
Peristiwa ini memberi kita pelajaran penting. Kepala sekolah adalah figur profesional yang memiliki tugas mendidik, mendisiplinkan, sekaligus melindungi siswa. Teguran terhadap murid yang melanggar aturan seharusnya dipandang sebagai bagian dari tanggung jawab. Jika tindakan itu justru membuat seorang kepala sekolah merasa terancam karena kebetulan siswa tersebut anak pejabat, maka independensi dunia pendidikan benar-benar dipertaruhkan. Bayangkan jika setiap guru atau kepala sekolah harus berpikir dua kali sebelum menegur hanya karena takut akan tekanan dari pihak berkuasa. Kondisi seperti ini tentu merusak kewibawaan sekolah dan menciptakan budaya takut.
Di sisi lain, kasus ini juga mengingatkan bahwa jabatan kepala daerah bukanlah kuasa pribadi. Kekuasaan publik adalah amanah yang harus dijalankan sesuai aturan, bukan alat untuk melindungi keluarga. Anak pejabat seharusnya justru menjadi contoh disiplin bagi teman-temannya, bukan pengecualian. Bila orang tua menggunakan kekuasaan untuk menekan pihak sekolah, pesan moral yang diterima masyarakat, terutama para siswa, adalah bahwa ada orang yang kebal terhadap aturan. Ini tentu saja menjadi contoh yang buruk bagi pendidikan karakter di sekolah.
Bahaya lain yang mengintai adalah rusaknya kepercayaan publik. Masyarakat bisa kehilangan keyakinan bahwa pejabat bekerja demi kepentingan rakyat. Alih-alih dihormati, kekuasaan akan dipandang sebagai sarana mengutamakan kepentingan pribadi. Padahal, seorang pemimpin seharusnya mampu menahan diri dan menomorduakan urusan keluarga ketika berhadapan dengan tanggung jawab publik.
Langkah Kemendagri memberi teguran tertulis patut diapresiasi, meskipun seharusnya tidak berhenti di sana. Kasus ini sebaiknya menjadi momentum untuk memperkuat regulasi agar kepala sekolah memiliki perlindungan hukum yang jelas. Dengan begitu, mereka bisa menjalankan tugas tanpa rasa takut diintervensi. Pendidikan harus dijaga marwahnya sebagai ruang yang netral, tempat siswa belajar kesetaraan, disiplin, dan tanggung jawab.
Kontroversi di Prabumulih ini menjadi pengingat keras bagi semua pemimpin daerah bahwa jabatan publik bukanlah warisan keluarga, melainkan amanah rakyat. Kekuasaan harus dijalankan dengan kepala dingin, bukan emosi. Jika kita ingin pendidikan Indonesia maju, biarkan sekolah berdiri tegak dengan kewibawaannya sendiri. Sebab dari sekolah lahir generasi bangsa, dan kewibawaan itu terlalu berharga untuk dikorbankan hanya demi urusan pribadi seorang pejabat.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”