Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang aparatur desa terhadap seorang perempuan penyandang disabilitas merupakan tamparan keras bagi korban dan keluarganya, serta martabat pemerintahan desa. Bagaimana bisa seorang pejabat yang seharusnya menunjukan contoh dan melindungi masyarakat diduga melakukan pelanggaran hukum dan moral yang sangat parah? Apakah pantas seorang pemangku kepentingan yang bisa dikatakan role model bagi masyarakat malah melakukan perbuatan yang sangat tercela?
Seorang aparatur desa memiliki peran strategis dalam pengelolaan desa. Amanah dan kepercayaan masyarakat dipegang oleh posisi ini. Jika kepercayaan dilecehkan dengan tindakan yang tidak pantas, nama pribadi dan kehormatan institusi pemerintahan desa akan terluka. Dengan kata lain, pelanggaran ini berdampak pada kepercayaan publik secara keseluruhan. Sehingga wibawa pemerintahan tidaklah di pandang baik lagi oleh masyarakat.
Artinya, ada dua lapisan kerentanan disini: korban adalah wanita dan juga memiliki gangguan mental. Sulit baginya untuk membelah diri atau menceritakan apa yang dialaminya karena keadaan ini. Pelaku pelecehan seksual melakukan ini tentunya hanya untuk memuaskan dirinya semata, tidak memikirkan dampak yang terjadi setelahnya kepada korban pelecehan. Jika dugaan ini benar, maka pelaku tidak hanya melakukan pelecehan tetapi juga melakukan eksploitasi terhadap korban. Kasus ini menyasar kepada kelompok yang paling rentan dalam masyarakat, ini adalag pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat serius.
Pada tahun 2017, tercatat 57 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas; data ini menunjukan peningkatan dan penurunan setiap tahunnya; pada tahun 2018, tercatat 57 kasus, pada tahun 2019, tercatat 69 kasus, pada tahun 2020, tercatat 87 kasus, pada tahun 2021, tercatat 77 kasus, dan pada tahun 2022, tercatat 44 kasus. Namun, dari tahun 2020 hingga 2022, tidak ada penurunan dan kasus kekerasan seksual masih terjadi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 1 menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan hak merdeka dan martabat yang sama. Hak-hak perempuan penyandang disabilitas jelas dirampas oleh dugaan pelecehan seksual. Selain itu, UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan perlindungan bagi penyandang disabilitas dari deskriminasi, kekerasan, dan eksploitasi. Jika ini benar, artinya negara ini tidak melindungi warganya yang paling rentan.
Meskipun menonaktifkan pelaku dari jabatan merupakan langkah awal, hak asasi manusia menuntut kepastian hukum dan pemulihan bagi korban. Menghormati, melindungi, dan memnuhi adalah tiga kewajiban negara yang ditekankan dalam prinsip hak asasi manusia. Oleh karena itu, kasus ini harus diselesaikan melalui proses hukum yang adil, korban harus menerima bantuan hukum dan psikolosial, dan situasi serupa harus bisa dipastikan tidak terulang.
Kasus ini menguji komitmen negara terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Apakah pemerintah benar-benar hadir untuk melindungi mereka yang paling rentan? Apakah aparatur negara dapat dihukum sama seperti warga publik jika mereka melanggar hukum?
Sebagai mahasiswa, saya berpendapat: Penegakan hukum tanpa pandang bulu sangat penting dan mutlak, perlindungan HAM yang lebih baik harus segera diberikan, terutama bagi penyandang disabilitas. Jika tidak, tidak hanya korban yang akan mengalami penderitaan ini, tetapi juga akan mencoreng wajah demokrasi dan kemanusiaan kita.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”