“Nanti kita meeting-nya di kafe X, ya.” Bagi mahasiswa, terutama mereka yang mengikuti banyak kegiatan serta organisasi, rasanya kalimat ini sangat tak asing. Kafe sering kali dijadikan “markas” untuk segala kegiatan mahasiswa organisasi. Mulai dari first gathering hingga weekly meeting. Tak jarang, mereka melanjutkan ke kegiatan lainnya seperti belajar ataupun nongkrong setelah kegiatannya organisasinya selesai. Sekilas, hal ini tampak wajar karena kafe mampu menyediakan tempat yang proper dengan WiFi kencang, makanan enak, dan banyak hal lainnya. Namun, jika kita menilik lebih dalam, kita dapat menemukan bukti nyata penerapan konsep embeddednes dari Sosiologi Ekonomi yang Mark Granovetter pernah cetuskan puluhan tahun lalu. Beliau menekankan bahwa setiap tindakan ekonomi individu dipengaruhi konteks sosial sekitarnya.
Pilihan ekonomi mahasiswa sifatnya tertanam (embedded) dalam jaringan sosial kampus. Teman satu organisasi, budaya nongkrong, hingga kegiatan akademik seperti musim ujian merupakan bagian dari hal-hal yang mempengaruhi keputusan ekonomi mahasiswa. Jika di ekonomi kita selalu melihat untung dan rugi individual sebagai indikator utama pengambilan keputusan, konsep embeddednes menolak anggapan tersebut. Terdapat hal-hal eksternal seperti relasi sosial, norma/aturan, dan kebiasaan yang turut mengarahkan keputusan ekonomi manusia. Dalam konteks mahasiswa, tingkat keaktifan organisasi secara signifikan memengaruhi hal ini. Aktivitas organisasi seperti rapat rutin, koordinasi panitia, pengarahan dari senior dan seterusnya menciptakan kebutuhan atas ruang temu yang nyaman, netral dan fleksibel. Di sini lah kafe memainkan peranan penting. Pembelian kopi dan camilan serta penyewaan ruangan rapat menjadi salah satu keputusan ekonomi yang melekat pada relasi sosial dan “ritual” organisasi.
Keterlibatan Organisasi terhadap “Langganan” Kafe
Bagi mahasiswa dengan frekuensi aktivitas organisasi tinggi, lokasi default terbaik adalah area sekitar kampus. Begitu kegiatan organisasi berpindah ke kafe, keputusan ekonomi individu secara otomatis terpengaruh. Ini merupakan konsekuensi ketika kesatuan jaringan memiliki jadwal yang seragam, adanya lokasi yang mudah diakses, dan kebutuhan yang sama akan fasilitas penunjang. Semakin lama, kafe menjadi “third place” atau ruang sosial yang bukan rumah dan bukan juga kelas akademik, tetapi yang melekat kuat dalam ekosistem kampus.
Efek relasi sosial ini juga dapat menjelaskan alasan di balik mahasiswa dengan aktivitas keorganisasian rendah atau nol cenderung jarang ke kafe. Bagi mereka, tarikan sosial untuk hadir dalam pertemuan rutin menjadi lebih sedikit. Alasan mereka untuk datang mungkin sekadar belajar atau nongkrong, tentu frekuensinya cenderung lebih rendah dibandingkan mahasiswa yang embedded dalam agenda organisasinya.
“Gapapa Mahal yang Penting Nyaman”
Dengan tingginya intensitas mahasiswa yang datang untuk duduk dalam waktu lama, banyak kafe kini memberlakukan kenaikan harga pada seluruh menu mereka. Hal tersebut sebagai antisipasi dari perputaran konsumen dan pemasukan kafe yang rendah karena kebiasaan untuk duduk lama ini. Timbul pertanyaan menarik mengenai alasan kafe dengan harga “overpriced” tetap dapat memiliki konsumen yang ramai dan dengan retensi tinggi. Konsep embeddedness memberikan sudut pandang menarik untuk mengkajinya. Di mana kenyamanan dan durasi tinggal (dwell time) ternyata memiliki nilai sosial yang mampu menciptakan daya tahan untuk diskusi panjang, brainstorming, dan kerja tim. Harga kopi dan makanan terkesan masuk akal dan menjadi “tiket masuk” untuk mengakses tempat yang memfasilitasi aktivitas jaringan ini.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil riset pemasaran di mana elemen fisik dan suasana atau servicescape akan memengaruhi lama tinggal dan pembelian tambahan konsumen. Aspek-aspek yang menjadi indikator penilaian ini adalah ergonimisitas kursi, tingkat kenyamanan serta suasana yang dibawa musik pengiring, jumlah stop kontak yang dapat digunakan, dan pekerja kafe yang paham bahwa konsumen mungkin akan tinggal dalam waktu lama.
Selain itu, suasana yang dibangun kafe membuat rapat terasa lebih santai dan egaliter dibanding jika dilakukan di ruang birokrasi kampus. Rantai kegiatan sosial ini menciptakan “common sense” bahwa uang lebih yang dibayarkan adalah trade off wajar untuk ruangan dan suasana yang disediakan. Embeddedness di sini menjelaskan bahwa nilai dari kopi bukan hanya rasanya, melainkan juga dari fungsi sosiostruktural yang dibawanya.
Musim Ujian Menjadi Puncak
Ketika memasuki musim ujian, kenaikan jumlah pengunjung kafe di sekitar kampus cenderung melonjak tajam. Hal ini terjadi karena jaringan belajar mahasiswa seperti teman sekelas ataupun study group mengorganisir intensitas temu mereka, Kafe di sini berperan sebagai wadah penghubung temporer untuk belajar, latihan soal, hingga sesi motivasi dadakan. Kacamata embeddedness melihat lonjakan ini sebagai respon kolektif di mana keputusan ekonomi individual diatur oleh siklus sosial akademik yaitu ujian dan budaya belajar bersama. Pada periode ini, biasanya akan terjadi kenaikan willingness to pay mahasiswa. Mereka cenderung “menginvestasikan” uang untuk ruang yang lebih memaksimalkan efektivitas belajar.
Peluang Besar Bisnis Kafe & Kebijakan Kampus
Dari tahun ke tahun, pasar kafe di Indonesia tumbuh pesat. Nilai jual kafe nasional meningkat dari sekitar USD 1,9 miliar pada 2022 menjadi USD 3,8 miliar pada proyeksi 2026. Kafe telah menjadi ruang komersial populer di kota-kota besar Indonesia karena mampu memenuhi kebutuhan emosional konsumen muda, khususnya mahasiswa. Melalui survei gaya hidup generasi Z, dapat diketahui bahwa nongkrong di kafe memiliki porsi yang cukup besar dari pengeluaran bulanan mahasiswa. USDA bahkan mencatat konsumsi kopi domestik yang tinggi dan berpotensi menjadi pasar besar untuk bisnis kafe.
Peluang kafe yang telah dilihat sebagai ruang produktif sekaligus sosial generasi muda menjadi fakta yang sangat menguntungkan. Riset menyimpulkan ”mahasiswa memilih kafe sebagai ruang belajar informal karena fasilitas kafe dapat meningkatkan performa belajar mereka”. Tren konsumerisme mahasiswa ini yang tumbuh dan didorong media sosial ini menandakan bahwa model bisnis kafe sangat potensial.
Pemahaman mengenai embeddedness sangat bermanfaat bagi pebisnis FnB, khususnya kafe, di sekitar kampus. Penerapan strategi yang tepat dapat membuat omzet melonjak berkali-kali lipat tanpa harus mengeluarkan cost yang besar. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan business owner:
Sediakan fasilitas jaringan internet dan kelistrikan yang berlimpah.
Naikkan kapasitas dengan penambahan kursi dan meja serta perpanjangan waktu operasional kafe.
Jalin kerja sama dengan organisasi mahasiswa untuk meningkatkan awareness serta keterikatan mahasiswa terhadap kafe tersebut.
Pengadaan paket hemat mahasiswa.
Bagi kampus, penyediaan ruang belajar kolaboratif sejenis kafe di perpustakaan atau fasilitas umum kampus tentu dapat mendorong kesejahteraan mahasiswa yang dapat memaksimalkan output mereka. Sinergi antara kampus dengan UMKM lokal berpotensi menciptakan ekosistem belajar yang sehat dan inklusif.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”