Luka Tak Kasatmata di Dunia Akademik
Kisah Timothy membuka tabir luka lama yang kerap disembunyikan, krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa.
Menurut keluarga, Timothy telah lama berjuang dengan gangguan psikologis sejak masa sekolah menengah. Ia sempat menjalani terapi, menunjukkan tanda-tanda kesulitan emosional, namun tetap mencoba bertahan.
Seperti banyak mahasiswa lain, ia mungkin memilih diam, sebab diam sering kali lebih aman daripada mengaku rapuh.
Lingkungan kampus kerap menyanjung ketangguhan, menormalisasi tekanan, dan menganggap kelelahan sebagai kelemahan pribadi.
Kampus modern kini berfungsi sebagai mesin pencetak prestasi, bukan ruang penyembuh jiwa.
Mahasiswa dinilai berdasarkan IPK, bukan keseimbangan hidup. Mereka didorong untuk terus produktif, aktif, unggul, dan tahan banting, tanpa ruang aman untuk jujur bahwa mereka letih atau sedang tersesat arah.
Banyak mahasiswa menyembunyikan luka batin di balik senyum, menutupi kecemasan di balik tugas, dan memendam kesedihan di balik pencapaian.
Dalam sistem yang menolak kelemahan, depresi tumbuh diam-diam.
Dan ketika kampus gagal menyediakan ruang aman bagi yang terluka, tragedi semacam ini bukan lagi kebetulan, melainkan akibat dari sistem yang kehilangan empatinya.
Kampus yang Kehilangan Kehangatannya
Universitas seharusnya menjadi rumah bagi logika dan nurani.
Namun di banyak kampus, termasuk Udayana, rumah itu kini terasa asing dan dingin.
Bagaimana bisa, di ruang yang mengaku mendidik manusia, ada tawa atas kematian teman sendiri?
Tindakan mengejek itu bukan sekadar salah ucap, melainkan bukti nyata bahwa rasa iba telah mati di ruang akademik.
Kampus telah berubah menjadi arena kompetisi sosial, bukan komunitas belajar yang saling menopang.
Mahasiswa berlomba menjadi yang paling menonjol, paling aktif, paling dikenal.
Dalam budaya narsistik semacam ini, yang lemah atau berbeda menjadi target ejekan.
Kekerasan yang terjadi bukanlah fisik, melainkan kekerasan simbolik yang menertawakan penderitaan dan mengikis empati.
Ketika solidaritas digantikan oleh sinisme dan kepekaan digantikan oleh candaan, maka pendidikan kehilangan maknanya.
Kampus tidak lagi melahirkan manusia berpikir, tetapi manusia yang tumpul terhadap penderitaan sesamanya.
Sanksi yang Menyentuh Permukaan, Bukan Akar
Hukuman bagi pelaku ejekan terasa sebatas formalitas etika.
Mengurangi nilai soft skill tidak akan mengubah budaya yang lebih dalam: budaya yang menormalisasi penghinaan dan menertawakan luka.
Permintaan maaf di media sosial hanyalah bentuk kepatuhan administratif, bukan kesadaran moral.
Sanksi seperti itu ibarat menempelkan plester pada luka moral yang bernanah.
Tidak ada ruang refleksi, tidak ada pembelajaran etik, dan tidak ada proses pemulihan kolektif.
Padahal yang dibutuhkan bukan sekadar hukuman, melainkan transformasi budaya kampus.
Pertanyaan utamanya bukan, Apakah pelaku sudah dihukum?, melainkan:
Bagaimana sistem pendidikan dapat membentuk mahasiswa yang kehilangan empati?
Bagaimana mungkin ruang yang mengajarkan teori kemanusiaan justru gagal menumbuhkan rasa kemanusiaan itu sendiri?
Krisis Nurani dalam Pendidikan Tinggi
Tragedi Timothy menyingkap krisis nilai dalam dunia akademik kita.
Kampus berlomba-lomba mengejar akreditasi, peringkat internasional, dan sertifikasi unggul, namun lupa mengajarkan kebaikan dan kepedulian.
Mahasiswa sibuk menghafal teori sosial, tapi gagal membaca kesedihan di sekitar mereka.
Kita mencetak lulusan yang cerdas tetapi dingin, rasional tetapi tanpa rasa, pandai berbicara tentang humanisme tetapi gagal mempraktikkannya.
Inilah ironi terbesar pendidikan kita:
semakin tinggi menara pengetahuan dibangun, semakin dalam jurang kemanusiaan yang menganga di bawahnya.
Seruan Moral: Mengembalikan Kemanusiaan ke Kampus
Kematian Timothy seharusnya menjadi panggilan sadar, bukan sekadar trending topic.
Kampus harus berani berbenah dari akar memperbaiki bukan hanya sistem, tetapi budaya.
Beberapa langkah nyata yang dapat ditempuh:
Membangun laboratorium empati, bukan sekadar laboratorium riset.
Menyediakan layanan konseling psikologis yang profesional, mudah diakses, dan bersifat rahasia.
Mengintegrasikan literasi etika digital dan empati sosial dalam setiap program orientasi mahasiswa baru.
Membangun komunitas dukungan sebaya agar mahasiswa saling menopang, bukan saling menjatuhkan.
Melatih dosen dan tenaga kependidikan untuk peka terhadap tanda-tanda distress psikologis dan mampu memberi respon yang manusiawi.
Menggunakan pendekatan restorative justice agar pelaku dan korban sama-sama belajar dari peristiwa tragis, bukan sekadar menjalani hukuman formal.
Empati tidak tumbuh dari ceramah moral, melainkan dari budaya yang menumbuhkan rasa peduli dan tanggung jawab terhadap sesama.
Dan budaya seperti itu hanya muncul ketika kampus mengakui bahwa pendidikan sejati adalah pertemuan antara kecerdasan dan kemanusiaan.
Penutup: Jika Empati Tidak Diajarkan, Ia Akan Mati
Timothy mungkin telah pergi, tetapi kisahnya adalah cermin bagi semua pihak : dosen, mahasiswa, rektorat, dan masyarakat.
Kita hidup di masa ketika orang lebih cepat menulis turut berduka di media sosial daripada benar-benar menemani yang berduka.
Kita hidup dalam sistem pendidikan yang lebih menghargai nilai akademik daripada nilai kemanusiaan.
Jika universitas terus gagal menanamkan empati, maka ijazah, akreditasi, dan prestasi hanyalah simbol kosong.
Karena sejatinya, pendidikan tanpa empati bukanlah pendidikan ia hanyalah pabrik pengetahuan tanpa kemanusiaan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”