Lenong Betawi merupakan salah satu bentuk teater tradisional yang lahir dari masyarakat Betawi di Jakarta. Pertunjukan ini telah ada sejak abad ke-19 dan menjadi bagian penting dari kebudayaan masyarakat Betawi. Meski dikemas dengan gaya jenaka, lenong tidak sekadar hiburan. Ia adalah cermin sosial yang menampilkan kritik terhadap perilaku manusia dan kondisi masyarakat di sekitarnya. Melalui dialog spontan, musik, dan humor yang renyah, lenong menjadi media komunikasi rakyat yang efektif untuk menyampaikan pesan sederhana namun tajam.
Dalam lenong, setiap karakter memiliki peran simbolik. Tokoh seperti si kaya, si miskin, pejabat, dan rakyat biasa digambarkan dengan karikatural, namun sesungguhnya menyindir realitas sosial yang nyata. Ketimpangan ekonomi, ketidakadilan hukum, serta moralitas pejabat sering kali menjadi bahan olok-olok di atas panggung. Inilah ciri khas lenong: menyampaikan kritik sosial tanpa menimbulkan permusuhan, karena dibalut tawa dan kelucuan.
Lenong bukan hanya sekadar pertunjukan tradisional yang menampilkan kostum berwarna-warni dan bahasa khas Betawi. Ia adalah wujud komunikasi rakyat terhadap kekuasaan dan ketimpangan sosial. Di masa lalu, ketika kebebasan berpendapat belum seperti sekarang, lenong menjadi wadah aman untuk menyindir pemerintah atau orang berkuasa. Melalui guyonan dan sindiran, rakyat bisa mengekspresikan keresahan mereka tanpa takut ditekan.
Namun, seiring modernisasi, eksistensi lenong semakin terpinggirkan. Televisi dan media sosial mendominasi ruang hiburan masyarakat. Ironisnya, pesan moral yang dulu disampaikan melalui lenong kini tergantikan oleh tontonan dangkal yang hanya mengejar rating. Masyarakat kehilangan ruang refleksi kritis yang dulu dihadirkan oleh lenong. Pemerintah pun seolah abai terhadap pelestarian seni tradisional yang sarat nilai.
Padahal, lenong memiliki potensi besar untuk menjadi media edukasi masyarakat. Dalam situasi politik yang sering kali memanas, lenong bisa menjadi jembatan penyampaian kritik dengan cara yang santun dan menghibur. Ia mengajarkan masyarakat untuk berpikir kritis tanpa kehilangan kearifan lokal. Seni seperti lenong seharusnya tidak hanya dipertahankan sebagai warisan budaya, tetapi juga dihidupkan kembali sebagai sarana pembelajaran sosial.

Kritik terhadap pemerintah dalam lenong sering kali disampaikan dengan cerdas. Misalnya, tokoh pejabat yang korup digambarkan sebagai orang sombong namun mudah ditipu oleh rakyat kecil yang jujur. Pesan ini menampar realitas: bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah kesombongan yang rapuh. Melalui kelucuan, penonton diajak merenung—bahwa keadilan, kejujuran, dan kesederhanaan adalah nilai yang harus dijaga bersama.
Selain terhadap pemerintah, lenong juga mengkritik perilaku masyarakat sendiri. Gaya hidup konsumtif, meniru budaya luar, hingga lunturnya solidaritas sosial sering kali menjadi bahan sindiran. Tokoh-tokoh rakyat kecil yang cerdas namun miskin biasanya menjadi pahlawan moral dalam cerita, menunjukkan bahwa kebijaksanaan tidak selalu datang dari orang berpendidikan tinggi atau kaya raya.
Di tengah derasnya arus globalisasi, masyarakat Betawi dan warga Jakarta pada umumnya perlu kembali melirik lenong sebagai cermin diri. Seni ini bukan sekadar hiburan kampung, melainkan bentuk kearifan lokal yang mampu menyeimbangkan antara kritik dan tawa. Bila pemerintah mau mendukung revitalisasi lenong, ia bisa menjadi sarana komunikasi publik yang kreatif dan edukatif, terutama bagi generasi muda yang haus hiburan bermakna.
Sangat disayangkan bahwa dukungan terhadap seniman lenong masih minim. Banyak kelompok lenong kesulitan mendapatkan tempat pertunjukan, dana, bahkan penonton. Pemerintah sering kali lebih fokus pada proyek budaya yang bersifat seremonial, bukan yang benar-benar hidup di tengah masyarakat. Inilah salah satu bentuk ironi dalam kebijakan kebudayaan kita—warisan lokal yang bernilai tinggi justru diabaikan.
Lenong sejatinya mengajarkan kita pentingnya berbicara dengan cara yang bijak. Ia menunjukkan bahwa pesan sosial tidak harus disampaikan dengan kemarahan, melainkan dengan humor dan kecerdasan. Di tengah era digital yang penuh ujaran kebencian, lenong bisa menjadi contoh bagaimana masyarakat dapat menyampaikan kritik tanpa memecah belah. Ia adalah seni berbicara dengan hati dan akal sehat.
Akhirnya, lenong Betawi bukan sekadar peninggalan budaya masa lalu. Ia adalah gambaran ekspresi sosial yang relevan sepanjang zaman. Dalam tawa yang tercipta, terselip pesan-pesan tajam tentang keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan. Mungkin inilah saatnya kita memberi ruang lebih besar bagi lenong untuk kembali berbicara di tengah kehidupan modern. Sebab, di balik kelucuannya, lenong menyimpan suara rakyat yang jujur dan apa adanya.
Distika Yulia Fatma Sari : Universitas Pamulang
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































