Anak Sekolah Dasar dan Vape: Potret Krisis Kesehatan Perkotaan antara Rasa Manis, Daya Tarik Aroma, dan Kesehatan Mental
Perkembangan kota yang cepat bukan hanya mengubah lanskap fisik, tetapi juga membentuk pola sosial dan budaya baru termasuk cara anak-anak berinteraksi dengan produk-produk konsumsi modern. Salah satu fenomena yang mengkhawatirkan di banyak kota adalah kemunculan konsumsi vape (rokok elektrik) di kalangan anak usia sekolah dasar (SD). Daya tarik utama yang sering disebutkan, rasa manis dan aroma “enak” atau “kekinian”. Namun di balik kepulan uap yang beraroma manis itu tersimpan masalah kesehatan fisik, risiko ketergantungan, dan dampak kompleks pada kesehatan mental anak. Esai ini mencoba menggambarkan fenomena tersebut secara luas, kritis, tajam, mendalam, dan reflektif.
1. Fenomena di Lapangan, Dari Rasa Manis ke Kepulan Pertama
Fenomena anak-anak usia sekolah dasar yang mulai mengenal dan mengonsumsi vape menjadi potret nyata dari perubahan gaya hidup urban yang semakin kompleks. Di tengah derasnya arus informasi dan budaya digital, vape bukan lagi sekadar produk untuk perokok dewasa, melainkan telah mengalami pergeseran makna menjadi simbol gaya hidup modern dan kesenangan instan bahkan di mata anak-anak. Di kawasan perkotaan, terutama lingkungan padat dengan pengawasan sosial yang longgar, vape muncul sebagai bentuk mainan berasap yang dikaitkan dengan rasa ingin tahu, eksperimentasi, dan pencarian identitas sosial anak.
Produk vape modern sengaja dirancang agar menarik secara sensorik dan visual. Varian rasa buah, permen, dan minuman populer seperti bubble gum, strawberry milk, atau cola ice menghadirkan kesan manis yang menggoda, menutupi risiko nikotin di baliknya. Bentuk perangkat yang kecil, berwarna-warni, bahkan menyerupai flashdisk atau pulpen digital semakin memperkuat persepsi bahwa vape adalah benda yang aman dan keren. Di banyak kasus, anak-anak mendapatkan akses vape bukan melalui toko resmi, tetapi melalui teman sebaya, penjual keliling di sekitar sekolah, atau bahkan daring tanpa batasan usia.
Faktor sosial juga memainkan peran penting. Dalam dinamika kelompok sebaya, vape menjadi sarana untuk diakui tanda kedewasaan semu yang membedakan antara anak biasa dan anak keren. Fenomena ini memperlihatkan bahwa motivasi anak bukan semata-mata untuk merokok, tetapi untuk mengalami sesuatu yang dianggap dewasa dan trendi. Ketika rasa manis dan aroma enak menjadi pembenaran, maka tindakan mengisap vape berubah dari sekadar konsumsi menjadi bentuk ekspresi sosial dan identitas diri.
Lebih dari itu, maraknya narasi yang salah di masyarakat seperti anggapan bahwa vape hanya berisi uap air atau tidak berbahaya turut menurunkan kewaspadaan publik. Narasi ini sering diperkuat oleh konten media sosial, iklan terselubung, atau bahkan percakapan santai di rumah dan sekolah. Anak-anak, dengan kemampuan berpikir kritis yang belum matang, mudah menyerap pesan-pesan tersebut tanpa menyadari konsekuensi kesehatan di baliknya.
Secara kritis, fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya konsumtif perkotaan dan lemahnya literasi kesehatan telah melahirkan generasi muda yang terjebak dalam ilusi rasa manis dan aroma menyenangkan. Vape bukan lagi simbol pelarian orang dewasa, melainkan bentuk baru dari komodifikasi masa kanak-kanak di mana industri menjual sensasi dan identitas melalui asap yang harum, sementara risiko kesehatan fisik dan mental tersembunyi di balik kepulan pertama yang tampak polos.
2. Dampak Fisik: Nikotin, Zat Kimia, dan Tubuh Anak yang Rentan
Di balik kepulan asap beraroma stroberi atau permen karet, tersembunyi ancaman serius bagi tubuh anak yang masih berada dalam fase pertumbuhan. Vape sering kali dikira sekadar menghasilkan uap air, padahal komposisinya jauh lebih kompleks dan berisiko. Cairan vape umumnya mengandung nikotin, zat adiktif utama dalam rokok, serta propilen glikol, gliserin vegetal, dan berbagai perasa kimia sintetis. Kombinasi bahan-bahan ini, ketika dipanaskan, menghasilkan aerosol, partikel halus yang menembus jauh ke jaringan paru-paru anak.
Pada anak usia sekolah dasar, otak dan sistem saraf masih dalam tahap perkembangan intensif. Paparan nikotin pada usia dini dapat mengubah cara kerja neurotransmiter di otak, menurunkan kemampuan konsentrasi, memperlemah memori jangka pendek, dan meningkatkan risiko gangguan kontrol impuls serta kecanduan jangka panjang. Otak yang seharusnya menyerap pelajaran kini justru terperangkap dalam pola ketergantungan kimia yang dapat bertahan hingga dewasa.
Lebih jauh, sistem pernapasan anak jauh lebih sensitif dibanding orang dewasa. Partikel aerosol yang dihirup dapat mengiritasi saluran pernapasan, menyebabkan batuk kronis, gangguan pernapasan, atau bahkan memperparah kondisi asma yang banyak dialami anak di perkotaan. Zat kimia seperti formaldehid dan acrolein hasil samping dari pemanasan cairan vape dikenal bersifat toksik dan berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan paru dalam jangka panjang.
Ironisnya, rasa manis dan aroma yang menyenangkan justru menjadi pintu masuk berbahaya. Pemanis dan perasa buatan membuat vape tampak aman dan menyenangkan, menipu indera anak bahwa mereka hanya sedang bermain asap rasa buah. Padahal di setiap hisapan tersimpan proses biologis yang mempercepat adiksi, menurunkan fungsi organ vital, dan membuka jalan bagi berbagai penyakit kronis di masa depan.
Dengan demikian, rasa manis yang melekat pada vape bukan sekadar soal cita rasa ia adalah mekanisme manipulatif yang memuluskan jalannya bahaya menuju tubuh dan otak anak-anak yang belum siap menerima dampak jangka panjangnya. Fenomena ini menunjukkan bagaimana bahaya modern sering datang dengan aroma yang menenangkan, tetapi meninggalkan jejak yang menggerogoti dari dalam.
3. Dampak Psikososial dan Kesehatan Mental, Lebih Dari Sekadar Kecanduan
Fenomena anak-anak sekolah dasar yang menggunakan vape membuka babak baru dalam masalah kesehatan mental dan sosial masyarakat urban. Jika pada pandangan pertama vape tampak hanya sebagai masalah zat adiktif, maka di baliknya tersembunyi lapisan kompleks tentang pencarian identitas, tekanan sosial, dan ketidakhadiran sistem protektif sosial yang memadai.
Pada usia sekolah dasar, anak-anak berada dalam fase krusial pembentukan identitas diri dan kebutuhan akan penerimaan sosial. Vape, dengan kemasan berwarna dan aroma menyenangkan, muncul sebagai simbol kekinian yang memberi rasa eksklusif di antara teman sebaya. Di titik ini, perilaku mengisap vape bukan lagi sekadar konsumsi zat, melainkan ritual sosial untuk merasa diterima dan dianggap dewasa. Tekanan teman sebaya dan keinginan untuk tidak tertinggal dalam tren menjadi pintu masuk yang kuat bagi anak untuk mencoba hal yang berisiko tanpa memahami konsekuensinya.
Masalah ini semakin mengkhawatirkan karena vaping di lingkungan sekolah dapat menormalkan perilaku berisiko, menurunkan persepsi bahaya, dan mempercepat penyebaran perilaku imitasi. Ketika satu anak dianggap keren karena membawa vape beraroma mangga, yang lain mungkin terdorong untuk mencobanya. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan budaya permisif terhadap penggunaan zat, bahkan sebelum mereka memahami konsep adiksi atau kesehatan.
Dari sisi psikologis, nikotin memengaruhi sistem neurotransmiter yang mengatur emosi dan kontrol impuls. Anak yang sering terpapar nikotin cenderung memiliki kesulitan mengendalikan dorongan, lebih mudah gelisah, dan memiliki gangguan perhatian (seperti ADHD) yang semakin parah. Kondisi ini tidak hanya mengganggu prestasi belajar, tetapi juga menimbulkan kerentanan emosional seperti mudah marah, cemas, atau sulit fokus.
Lebih jauh lagi, berbagai penelitian menunjukkan korelasi antara penggunaan zat di usia dini dengan gangguan psikologis seperti depresi, perilaku agresif, dan gangguan kecemasan. Walau hubungan kausalnya kompleks melibatkan faktor keluarga, lingkungan, dan budaya sekolah penggunaan vape jelas memperbesar risiko munculnya masalah mental pada anak yang seharusnya sedang belajar mengenali dunia dengan rasa ingin tahu yang sehat.
Ironisnya, anak-anak yang sudah terlanjur menggunakan vape sering kali menghadapi stigma sosial. Mereka mungkin merasa malu, takut ketahuan guru atau orang tua, dan akhirnya menutup diri. Dalam situasi tanpa dukungan psikososial yang memadai, mereka mudah jatuh ke dalam siklus isolasi sosial dan rasa bersalah, yang justru memperburuk kondisi mentalnya.
Secara reflektif, fenomena ini mencerminkan kegagalan kolektif sistem sosial kita mulai dari keluarga yang kehilangan fungsi pengawasan, sekolah yang tidak memiliki sistem edukasi preventif, hingga lemahnya regulasi penjualan vape yang menargetkan anak-anak. Dalam konteks urban seperti Kota Manado, di mana paparan digital, gaya hidup modern, dan tekanan sosial tinggi bertemu, masalah ini bukan lagi isu individu, melainkan cermin buram dari rapuhnya ekosistem perlindungan anak di tengah arus modernitas.
Vape yang terlihat manis dan beraroma menyenangkan ternyata menyembunyikan kepedihan sosial: anak-anak yang seharusnya bermain dan belajar kini tersesat dalam kabut asap ilusi kedewasaan yang dibuat oleh industri dan diabaikan oleh masyarakatnya sendiri.
4. Faktor Struktural dan Budaya yang Memfasilitasi Fenomena
Fenomena anak-anak usia sekolah dasar yang mengonsumsi vape tidak muncul secara tiba-tiba atau dalam ruang kosong; ia tumbuh dari kombinasi kompleks antara struktur sosial, budaya konsumsi, dan lemahnya sistem perlindungan publik. Untuk memahami akar persoalan ini, kita perlu menelisik determinan yang bekerja di balik layar mulai dari strategi pemasaran industri hingga pola nilai dalam masyarakat urban yang permisif terhadap simbol modernitas semu.
Pertama, pemasaran rasa dan desain produk memainkan peran besar. Industri vape dengan cerdik memanfaatkan psikologi perkembangan anak dan tren media sosial untuk menciptakan citra bahwa vape adalah produk aman dan menyenangkan. Varian rasa seperti stroberi, permen karet, hingga minuman soda, dipadukan dengan desain perangkat berwarna cerah dan bentuk mini mirip USB, menjadikan vape tampak seperti gawai lucu ketimbang alat konsumsi zat adiktif. Meskipun secara hukum pemasaran yang menargetkan anak-anak dilarang, praktik promosi terselubung di media sosial dan influencer marketing berhasil menembus celah regulasi.
Kedua, aksesibilitas menjadi faktor yang memperparah. Anak-anak di wilayah perkotaan seperti Manado dapat dengan mudah membeli vape di warung dekat sekolah, toko daring, atau melalui teman sebaya yang lebih tua. Tidak adanya sistem verifikasi usia yang efektif di kanal penjualan daring serta lemahnya kontrol di tingkat lokal menjadikan anak-anak sebagai kelompok paling mudah terekspos. Ironisnya, kemudahan akses ini berjalan seiring dengan minimnya kesadaran orang tua dan sekolah terhadap bahaya vape.
Ketiga, ketiadaan pengawasan efektif menegaskan lemahnya sistem perlindungan anak dalam konteks kesehatan masyarakat. Banyak orang tua yang tidak tahu anaknya sudah menggunakan vape, guru yang ragu menegur karena menganggapnya bukan pelanggaran berat, dan pemerintah daerah yang belum memiliki mekanisme penegakan aturan yang jelas. Vape, yang semestinya dikategorikan dalam zat berisiko, justru berada dalam zona abu-abu regulasi.
Keempat, kesenjangan pengetahuan dan miskonsepsi publik memperburuk keadaan. Narasi populer seperti vape hanya uap air atau lebih aman dari rokok telah merasuki kesadaran masyarakat luas, termasuk kalangan terdidik. Edukasi kesehatan publik yang kurang sistematis menyebabkan banyak orang tua gagal mengenali gejala awal penggunaan vape atau bahkan menganggapnya tidak berbahaya.
Faktor terakhir yang tak kalah penting adalah konteks budaya urban. Dalam kehidupan perkotaan yang padat dan penuh tekanan seperti di Manado, anak-anak terpapar berbagai bentuk representasi gaya hidup digital. Media sosial berfungsi sebagai ruang rekrutmen budaya konsumsi, di mana perilaku vaping ditampilkan sebagai simbol gaul, modern, atau bebas. Perubahan nilai di masyarakat urban dari komunal menjadi individualistik, dari gotong royong menjadi citra diri digital menciptakan ruang kosong yang diisi oleh tren-tren semu seperti ini.
Secara kritis, seluruh faktor di atas menunjukkan bahwa solusi individual semata seperti menegur anak atau menyita perangkat vape tidaklah cukup. Permasalahan ini membutuhkan intervensi struktural: kebijakan tegas tentang regulasi iklan dan distribusi vape, pengawasan lintas sektor antara sekolah, pemerintah, dan masyarakat, serta pendidikan publik yang masif dan berkelanjutan.
Fenomena anak SD yang mengisap vape dengan alasan aromanya enak sejatinya adalah alarm keras bahwa kita hidup di masyarakat yang gagal melindungi masa depan generasinya sendiri. Ketika aroma manis menutupi bahaya sistemik, maka tanggung jawab moral, politik, dan sosial harus dipikul bersama bukan hanya oleh individu, tetapi oleh seluruh ekosistem kota yang menamakan dirinya beradab.
5. Kritik terhadap Kebijakan dan Praktik Pendidikan Saat Ini
Fenomena meningkatnya penggunaan vape di kalangan anak usia sekolah dasar membuka ruang refleksi kritis terhadap kebijakan publik dan sistem pendidikan yang masih tertinggal dari dinamika sosial-budaya konsumsi baru. Sementara perhatian terhadap bahaya rokok konvensional telah menjadi bagian dari agenda kesehatan masyarakat selama bertahun-tahun, produk-produk alternatif seperti vape justru lolos dari radar kebijakan, pengawasan, dan pendidikan kesehatan di sekolah.
Pertama, kebijakan publik kita tertinggal dari realitas lapangan. Regulasi yang ada masih berfokus pada pengendalian rokok konvensional mulai dari pelarangan iklan, pembatasan area merokok, hingga peringatan kesehatan bergambar tanpa menjangkau kompleksitas produk vape. Padahal, vape kini hadir dalam berbagai bentuk, rasa, dan intensitas nikotin yang berbeda, bahkan kerap dipasarkan secara digital dengan visual yang memikat anak-anak. Tidak ada regulasi tegas tentang pembatasan rasa, bentuk kemasan, maupun larangan eksplisit terhadap pemasaran yang menyasar kelompok usia muda. Akibatnya, celah hukum ini memungkinkan industri untuk beroperasi secara bebas dengan membungkus bahaya dalam estetika gaya hidup kekinian.
Kedua, praktik pendidikan kesehatan di sekolah masih bersifat informatif dan dangkal. Kurikulum pendidikan kesehatan atau bimbingan konseling jarang mengajarkan kemampuan sosial dan psikologis yang relevan dengan konteks kehidupan anak perkotaan modern. Anak-anak hanya menerima pesan jangan merokok tanpa pembekalan terhadap tekanan teman sebaya, mekanisme resistensi terhadap tren, atau kemampuan berpikir kritis terhadap iklan digital. Akibatnya, pengetahuan tidak otomatis membentuk perilaku, karena yang hilang adalah dimensi psikososial dan emosional dari pendidikan kesehatan.
Ketiga, minimnya pelibatan orang tua dan komunitas memperparah kesenjangan intervensi. Banyak orang tua bahkan tidak tahu seperti apa bentuk vape, atau menganggapnya sekadar mainan berasap. Tanpa dukungan keluarga yang memahami tanda-tanda awal penggunaan vape, anak-anak kehilangan perlindungan primer di rumah. Sementara itu, masyarakat sekitar sekolah termasuk pedagang kecil dan tokoh lokal belum dilibatkan dalam sistem pengawasan dan pencegahan berbasis komunitas.
Keempat, pendekatan punitif masih mendominasi penanganan kasus di sekolah. Anak yang tertangkap menggunakan vape sering dihukum, dipermalukan, atau dikeluarkan dari sekolah. Pendekatan semacam ini bukan hanya gagal menyentuh akar masalah, tetapi juga dapat memperburuk kesehatan mental anak, menciptakan stigma, dan mendorong perilaku sembunyi-sembunyi. Sebaliknya, pendekatan rehabilitatif dan suportif melalui konseling, bimbingan psikologis, dan peer education lebih mampu menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab tanpa menimbulkan trauma sosial.
Kritik terhadap kondisi ini menunjukkan adanya policy gap yang signifikan antara regulasi formal dan realitas sosial. Pengendalian vape di kalangan anak-anak tidak bisa hanya berbentuk larangan administratif, ia membutuhkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan regulasi produk, pendidikan kesehatan mental, dan dukungan komunitas. Pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat harus berkolaborasi membangun ekosistem perlindungan anak yang adaptif terhadap zaman digital.
Secara reflektif, fenomena ini menegaskan bahwa pendidikan kesehatan anak tidak boleh berhenti pada pengetahuan, tetapi harus menyentuh nilai, empati, dan daya kritis. Tanpa reformasi kebijakan dan pendidikan yang visioner, anak-anak kita akan terus menjadi korban dari sistem yang gagal membedakan antara gaya hidup modern dan konstruksi pasar yang memanipulasi rasa ingin tahu mereka.
6. Rekomendasi Komprehensif (Ringkas dan Reflektif)
Fenomena anak usia sekolah dasar yang mengonsumsi vape bukan hanya persoalan individu, tetapi sebuah krisis sosial dan kesehatan publik yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam melindungi generasi muda dari bahaya modernitas tanpa batas etika. Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan strategi lintas sektor yang berpijak pada prinsip pencegahan dini, kolaborasi, dan empati sosial. Pendekatan yang diusulkan harus bersifat komprehensif tidak hanya menindak perilaku, tetapi membangun ekosistem sosial yang sehat, kritis, dan reflektif terhadap budaya konsumsi yang manipulatif.
Regulasi ketat terhadap rasa dan pemasaran.
Pemerintah perlu menetapkan larangan terhadap varian rasa yang dirancang untuk menarik anak-anak, seperti rasa permen, buah, dan minuman manis. Desain perangkat yang menyerupai mainan atau alat tulis juga harus dibatasi. Selain itu, pengawasan terhadap iklan digital menjadi keharusan, mengingat media sosial telah menjadi ruang utama promosi tersembunyi yang menjangkau anak-anak tanpa kontrol usia.
Penegakan usia pembeli dan distribusi.
Regulasi tanpa pengawasan hanya menjadi simbolik. Diperlukan mekanisme verifikasi usia yang ketat dalam penjualan online maupun offline, serta sanksi tegas bagi penjual yang melayani pembeli di bawah umur. Pengawasan lintas lembaga antara dinas kesehatan, pendidikan, dan satuan polisi pamong praja harus diintegrasikan dalam sistem pemantauan bersama.
Kurikulum pendidikan kesehatan yang kontekstual.
Pendidikan kesehatan di sekolah dasar harus bertransformasi dari pendekatan informatif ke pendekatan psikososial dan partisipatif. Anak perlu dilatih keterampilan untuk menolak tekanan teman sebaya, memahami strategi pemasaran digital, dan menginternalisasi konsekuensi fisik serta mental dari perilaku berisiko. Proses pembelajaran bisa dikemas dalam diskusi kelompok, simulasi, atau proyek kreatif agar lebih relevan dengan realitas mereka.
Pelibatan keluarga dan komunitas.
Pencegahan akan lebih efektif jika dimulai dari rumah. Sekolah bersama dinas kesehatan dapat menyelenggarakan workshop bagi orang tua tentang tanda-tanda penggunaan vape, strategi komunikasi terbuka dengan anak, serta cara membangun lingkungan yang suportif. Komunitas lokal, termasuk tokoh agama dan organisasi masyarakat, juga dapat memperkuat pesan moral dan sosial tentang pentingnya menjaga anak dari bahaya adiksi.
Layanan konseling dan rehabilitasi ramah anak.
Pendekatan yang menghukum anak tidak menyelesaikan masalah, justru memperburuk kesehatan mental mereka. Oleh karena itu, sekolah perlu menyediakan layanan konseling yang ramah anak dan bebas stigma, yang fokus pada pemulihan, pendampingan, dan penguatan karakter. Kolaborasi dengan psikolog, pekerja sosial, dan tenaga kesehatan menjadi bagian dari sistem dukungan yang lebih manusiawi.
Kampanye sosial berbasis bukti.
Kampanye publik harus berbicara dengan bahasa yang emosional namun faktual. Alih-alih sekadar menampilkan larangan abstrak, pesan kampanye sebaiknya menonjolkan cerita nyata tentang dampak kesehatan, pengalaman pemulihan, dan testimoni teman sebaya. Pendekatan ini lebih efektif membangun kesadaran daripada menakut-nakuti.
Penelitian lokal dan pemantauan berkelanjutan.
Intervensi yang efektif harus berbasis data. Diperlukan penelitian lokal di kota-kota seperti Manado untuk memahami prevalensi, motivasi, dan jalur akses anak terhadap vape. Data empiris akan menjadi dasar bagi kebijakan yang kontekstual, realistis, dan adaptif terhadap dinamika sosial masyarakat urban.
Secara reflektif, seluruh rekomendasi ini berpijak pada gagasan bahwa pencegahan bukan hanya tentang melarang, tetapi tentang mendidik, mendampingi, dan menumbuhkan kesadaran. Vape hanyalah gejala dari krisis yang lebih dalam krisis nilai, komunikasi, dan perhatian antar generasi. Maka, solusi sejati bukan sekadar membatasi asap, melainkan menyalakan kembali kepedulian sosial terhadap tumbuh kembang anak dalam dunia yang semakin kabur antara hiburan dan bahaya.
7. Refleksi Akhir Antara Kepulan Uap dan Tanggung Jawab Kolektif
Kepulan uap beraroma manis yang keluar dari sudut halaman sekolah dasar bukan sekadar pemandangan aneh ia adalah potret simbolik dari kegelisahan sosial perkotaan modern. Di balik asap yang harum, tersembunyi paradoks antara kemajuan dan kelalaian. Fenomena anak-anak usia sekolah dasar yang mengonsumsi vape karena rasa manis dan aroma menggoda bukan hanya menunjukkan perilaku menyimpang individu, tetapi juga memperlihatkan retaknya sistem nilai, lemahnya regulasi, dan rapuhnya ekosistem pendidikan dan keluarga dalam menghadapi penetrasi budaya konsumtif modern.
Dalam konteks urban, di mana segala hal dikemas dalam estetika dan sensasi, vape tampil sebagai produk gaya hidup yang memikat. Anak-anak, yang seharusnya hidup dalam dunia imajinasi, permainan, dan pendidikan karakter, kini justru terpapar logika pasar yang menormalisasi perilaku berisiko melalui bahasa visual dan aroma yang ramah. Ironisnya, masyarakat dewasa sering kali mengabaikan bahaya yang bersembunyi di balik kepulan asap beraroma stroberi atau vanila itu. Keluarga sibuk, sekolah berfokus pada akademik, dan media sosial menjadi guru baru yang lebih cepat mempengaruhi pola pikir anak.
Fenomena ini mengungkap kegagalan kolektif kita dalam literasi kesehatan dan literasi digital. Produsen memanfaatkan celah regulasi, regulator tertinggal oleh kecepatan pasar, sementara masyarakat belum cukup kritis terhadap strategi normalisasi yang membungkus bahaya dengan kemasan keren dan modern. Di sinilah masalah kesehatan tidak lagi sekadar urusan paru-paru dan nikotin, tetapi menyentuh kesehatan mental dan moral generasi muda, anak-anak yang mencari identitas diri di tengah kebingungan nilai, keinginan diterima, dan tekanan sosial yang semakin kompleks.
Krisis ini menuntut refleksi etis yang mendalam: apakah kita akan terus menoleransi produk yang sengaja didesain untuk menarik anak-anak melalui rasa dan aroma yang manis, sementara dampaknya merusak fisik dan psikis mereka dalam jangka panjang? Apakah kemajuan teknologi dan kebebasan konsumsi harus dibayar dengan generasi yang kehilangan kepekaan terhadap bahaya dan batas moral?
Menjawabnya membutuhkan keberanian moral dan kesadaran struktural. Keberanian moral berarti menolak narasi palsu bahwa vape adalah alternatif aman, dan kesadaran struktural berarti membangun sistem yang melindungi anak melalui kebijakan tegas, edukasi berbasis nilai, serta dukungan keluarga yang hadir secara emosional. Sekolah tidak cukup hanya melarang, ia perlu membangun ruang dialog dan literasi kritis agar anak memahami makna dari setiap pilihan yang mereka buat.
Akhirnya, perlindungan anak dari bahaya vape adalah ujian kemanusiaan kolektif kita. Ia menguji sejauh mana kita, sebagai masyarakat modern, mampu menempatkan kepentingan anak di atas kepentingan pasar. Jika kita gagal bertindak, maka yang hilang bukan sekadar kesehatan fisik mereka, tetapi juga kepercayaan terhadap kemampuan kita menjaga masa depan bangsa dari godaan modernitas yang tampak manis namun penuh racun tersembunyi.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”