Lamongan — Di tengah peringatan Hari Sumpah Pemuda, Jaringan Masyarakat Lamongan (JAMAL) menggelar Diskusi Umum Kebangkitan Kaum Muda Lamongan, sebuah forum yang mestinya menjadi ruang refleksi sekaligus pernyataan sikap tentang posisi pemuda dalam arah kebijakan daerah.
Acara yang dipandu oleh Nur Salim ini dihadiri oleh peserta lintas organisasi: IPNU-IPPNU, Pemuda Muhammadiyah, Komunitas LA BRAK, Pelita UMKM, Majelis Milangkori, Gerakan Pemuda Nasionalis Demokrasi, serta kalangan pers.
Namun suasana harapan itu berubah menjadi ironi. Empat narasumber utama Ir. Suhandoyo, Dirham Akbar Aksara, Ahmad Umar Buwang, dan Faturrahman mendadak absen secara serentak tanpa alasan jelas. Absennya para pemimpin muda ini terasa seperti simbol nyata: bahwa semangat kebangkitan sering kali berhenti di undangan, tidak sampai pada kehadiran dan keberpihakan.
Meski begitu, diskusi tetap berlangsung penuh semangat dengan penunjukan tokoh sebagai narasumber dadakan. Dr. Afan Alvian, satu-satunya narasumber yang hadir, memantik kesadaran dengan mengangkat tiga sosok pemuda berpengaruh dalam sejarah: Utsamah bin Zaid, pemimpin perang termuda dalam sejarah Islam; Muhammad Al-Fatih, penakluk Konstantinopel; dan Sayuti Melik, penulis naskah proklamasi yang berani menentang penjajahan lewat pena.
Menurut Afan, ketiganya adalah simbol keberanian dan keteguhan pemuda untuk mengambil peran, bukan sekadar menunggu pengakuan. Banyak pemuda, katanya, memiliki kapasitas luar biasa, namun sistem yang kaku membuat mereka tak diakui. Bahkan yang sudah diakui pun kerap tak diberi ruang untuk berpengaruh.
Dari sini, muncul pertanyaan yang lebih dalam: apakah pemuda hari ini benar-benar tidak berdaya, ataukah mereka memilih untuk diam ketika pintu perubahan sudah terbuka di depan mata?
Nurrozuki dari Majelis Milangkori menambahkan lapisan kritik yang lebih konkret. Ia menyoroti lemahnya pelibatan pemuda dalam proses perumusan kebijakan di tingkat daerah. Salah satu contohnya, Peraturan Bupati Nomor 79 Tahun 2019 tentang LKK, yang ironisnya hanya diunggah judulnya tanpa isi oleh PPID. Menurutnya, akibat minimnya transparansi itu, Karang Taruna tumbuh tanpa arah kebijakan yang jelas. Pemerintah desa pun, katanya, minim literasi terhadap aturan yang sebenarnya bisa memperkuat peran pemuda.
Ia menilai Dinas Sosial terlalu sibuk mengurus bantuan sosial, sementara tanggung jawab pembinaan kepemudaan justru diabaikan. “Ungkapan ‘pancene ngono’ itu wujud ketidakpedulian generasi tua terhadap regenerasi,” ujarnya.
Pernyataan itu menggugah: apakah kita sedang membiarkan semangat muda layu karena pasrah terhadap kebiasaan lama yang dianggap tak bisa diubah?
Suara berikutnya datang dari Supardi, mantan Sekda Lamongan. Dengan nada kecewa, ia menyoroti absennya para pejabat muda yang sejatinya menjadi simbol harapan perubahan. “Pemuda yang sudah duduk di pemerintahan dan parlemen justru dianggap tabu untuk bersuara atau mengkritik,” ujarnya. Ia menilai pemerintah secara kelembagaan menutup ruang bagi gerakan pemuda, meski di sisi lain, pemuda tetap menunjukkan daya kritis melalui media sosial.
Supardi juga menyinggung soal utang Pemkab Lamongan ke Bank Jatim yang perlu transparansi agar tidak membebani generasi penerus. Ia mengingatkan pentingnya adab dalam menyampaikan kritik. “Kritik boleh tajam, tapi harus beradab,” tegasnya.
Ucapannya seperti mengingatkan bahwa perlawanan tanpa etika hanya akan menjadi amarah kosong, sedangkan keberanian yang beradab adalah kekuatan sejati perubahan.
Dari kalangan peserta, muncul semangat yang tak kalah kuat. Banyak yang menilai pemuda Lamongan perlu memanfaatkan teknologi sebagai alat propaganda positif untuk membangkitkan kesadaran sosial dan politik. Raden Imam menegaskan pentingnya gerakan bersama. “Kita tidak bisa bergerak sendiri-sendiri. Melawan ketidakadilan harus bersama-sama, karena persatuan adalah napas kebangkitan,” ucapnya.
Kata-kata ini menggema di antara wajah-wajah muda yang hadir, seolah menjadi sumpah baru yang lahir dari akar tanah Lamongan: sumpah untuk tidak menyerah pada apatisme.
Data yang sempat diungkap dalam forum menyebutkan, 27.000 sarjana muda Lamongan saat ini berstatus pengangguran. Sebuah angka yang menampar kesadaran bersama, betapa timpangnya hubungan antara pendidikan, kebijakan daerah, dan kemandirian ekonomi.
Kebangkitan pemuda bukan hanya soal idealisme, tapi juga tentang keberanian menata ulang sistem agar memberi ruang bagi yang muda untuk bekerja, berkreasi, dan berdaya.
Diskusi ini akhirnya menjadi cermin yang jujur tentang wajah kepemudaan Lamongan hari ini: penuh potensi, tapi sering kali dikecewakan oleh ketidakhadiran mereka yang seharusnya menjadi contoh. Ketika suara muda tak diberi tempat, dan yang tua sibuk mempertahankan posisi, maka semangat “Bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa satu” hanya akan menjadi slogan yang hampa.
Lamongan butuh keberanian baru, dan kebangkitan itu hanya akan datang dari pemuda yang tak lagi menunggu giliran bicara tetapi menciptakan ruangnya sendiri.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”































































