Fenomena fatherless pada anak ketidakhadiran ayah secara fisik maupun emosional menjadi isu yang semakin relevan dalam dinamika keluarga Indonesia. Meskipun tidak selalu tampak di permukaan, dampaknya mulai terlihat dalam berbagai persoalan sosial, mulai dari meningkatnya kerentanan psikologis remaja hingga lemahnya kemampuan regulasi emosi pada anak. Sayangnya, isu ini masih belum menempati ruang diskusi yang semestinya dalam kebijakan publik maupun percakapan domestik.
Peran ayah dalam keluarga selama ini kerap dipersempit dalam kerangka ekonomi. Selama kebutuhan finansial terpenuhi, kehadiran emosional ayah sering dianggap tidak esensial. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa interaksi ayah baik dalam bentuk komunikasi, pendampingan, maupun keteladanan berkontribusi signifikan terhadap perkembangan karakter, kepercayaan diri, dan stabilitas emosional anak.
Di era modern, tekanan pekerjaan, mobilitas sosial, serta tuntutan gaya hidup semakin memperlebar jarak antara ayah dan keluarga. Kehadiran fisik yang minim, dikombinasikan dengan kehadiran emosional yang tidak konsisten, melahirkan generasi yang tumbuh tanpa figur ayah yang membimbing. Kondisi ini memunculkan kecenderungan yang tidak bisa diabaikan: meningkatnya angka kenakalan remaja, pola relasi yang tidak sehat, serta rendahnya daya lenting psikologis.
Fenomena fatherless dengan demikian bukan sekadar isu domestik, melainkan refleksi dari rapuhnya ketahanan keluarga. Indonesia memang telah memiliki berbagai instrumen kebijakan keluarga, namun belum secara optimal menyentuh aspek penguatan peran ayah. Program pengasuhan, penyuluhan keluarga, hingga kampanye literasi digital masih banyak difokuskan pada peran ibu, seolah urusan emosional dan pendidikan anak adalah tanggung jawab sepihak.
Diperlukan langkah konkret untuk memperbaiki situasi ini. Pertama, literasi pengasuhan perlu diperluas dengan menempatkan ayah sebagai aktor utama dalam perkembangan anak. Kedua, institusi keluarga harus diberi ruang untuk menegosiasikan ulang pembagian peran, termasuk menormalisasi kehadiran ayah dalam aktivitas harian anak. Ketiga, negara perlu mempertimbangkan kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja dan keluarga, sehingga ayah memiliki waktu dan kapasitas untuk hadir lebih penuh.
Menghadapi fenomena fatherless berarti meninjau ulang cara kita memahami keluarga dan tanggung jawab pengasuhan. Ketahanan keluarga tidak dapat dibangun tanpa keterlibatan ayah sebagai figur yang menyediakan stabilitas emosional dan moral bagi anak. Jika Indonesia ingin menyiapkan generasi yang lebih kuat dan resilien, maka revitalisasi peran ayah menjadi salah satu kebutuhan mendesak yang tidak bisa lagi ditunda.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































