Dilansir dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kekerasan dalam Rumah Tangga didefinisikan sebagai “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Tampak dari pasal tersebut berfokus pada akibat, yaitu “kesengsaraan atau penderitaan”.
Berdasarkan Pasal 28B Ayat (2) UUD NRI 1945, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan diri dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa negara menjamin hak fundamental anak-anak dimana anak merupakan aset bangsa yang memegang peranan penting dalam keberlanjutan kehidupan suatu bangsa.
Melalui UUD NRI 1945, negara dalam menjalankan kewajibannya guna menjamin keberlangsungan hak-hak anak tersebut mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Pasal 5 UU PKDRT menerangkan terdapat 4 kategori larangan kekerasan dalam rumah tangga dengan cara:
Dalam Pasal 7 UU PDKRT, kekerasan psikis diartikan sebagai “perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”. Apabila ditinjau dari pasal tersebut, posisi seorang anak yang kerap menyaksikan pertengkaran, makian, atau bahkan kekerasan fisik antara orang tuanya tentu akan mengalami ketakutan, kecemasan, dan penderitaan psikis. Hal ini sejalan dengan definisi kekerasan psikis dalam pasal diatas dan dengan demikian, anak tidak lagi hanya berstatus sebagai saksi, melainkan telah menjadi korban langsung dari kekerasan psikis.
Lebih lanjut, kedudukan anak sebagai korban tidak langsung dalam KDRT ini diperkuat dengan isi Pasal 76C UU 35/2014 yang berisikan: “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.” Dari pasal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa seorang orang tua yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya di hadapan anak, secara sadar telah “menempatkan” anak dalam situasi kekerasan dan “membiarkan” anak tersebut menderita dampak psikisnya.
Dan, perlindungan khusus bagi anak diperkuat dengan perlindungan khusus yang terkandung dalam Pasal 59A UU 35/2014 yang meliputi:
Tampak bahwa implementasi dari Pasal 59A UU 35/2014 diatur lebih lanjut dalam upaya penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi Anak korban tindak Kekerasan dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi berdasarkan Pasal 69 UU 35/2014.Sebagai aturan pelaksana UU PKDRT, negara menciptakan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban KDRT yang menyediakan kerangka operasional untuk pemulihan korban. Dalam PP ini, pemulihan korban didefinisikan segala upaya penguatan fisik dan psikis, yang diselenggarakan melalui pelayanan dan pendampingan multidisipliner oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan, dan pembimbing rohani.
Dalam hal ini, sebagai contoh adalah koordinasi antara lembaga seperti Kepolisian khususnya dalam unit PPA dan aparat penegak hukum yang bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan sementara, melakukan investigasi, serta bekerja sama dengan lembaga lain. Dengan demikian, kedudukan anak sebagai korban sekalipun tidak langsung dapat tetap terjamin memperoleh pemulihan pasca KDRT yang disaksikannya.
Perlindungan anak sebagai korban tidak langsung dari KDRT merupakan langkah fundamental untuk kesejahteraan masyarakat. Apabila luka batin anak tidak dihiraukan, terdapat potensi lahirnya generasi yang bermasalah secara psikologis dan juga berpeluang mewariskan pola kekerasan. Penting bagi kita untuk lebih peduli, tidak terbatas pada kepada para korban yang lantang menyampaikan pendapat, melainkan juga mereka yang menderita dalam diam.
Daftar Pustaka:
- Peraturan Perundang-Undangan
- Jurnal
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”