Pendahuluan: Hukum dan Realitas Politik
Penyelesaian sengketa internasional adalah pilar vital dalam menjaga perdamaian dan kepastian hukum antarnegara. Secara hakikat, sengketa internasional merupakan perselisihan antara subjek hukum internasional—negara atau aktor lainnya—mengenai fakta hukum atau politik, di mana tuntutan satu pihak ditolak oleh pihak lain.
Dalam konteks hukum, sengketa dibedakan menjadi dua: sengketa politik (didasarkan pada pertimbangan non-yuridis seperti kepentingan nasional) dan sengketa hukum (didasarkan pada ketentuan perjanjian yang diakui secara internasional). Mahkamah Internasional (ICJ) sendiri menetapkan kriteria sengketa harus objektif dan menunjukkan adanya sikap saling bertentangan antar pihak. Prinsip-prinsip luhur seperti itikad baik dan larangan penggunaan kekerasan pun selalu menjadi landasan.
Namun, dalam realitas praktik saat ini, muncul sebuah mekanisme yang justru mengaburkan garis antara hukum dan kepentingan politik-ekonomi: Investor-State Dispute Settlement (ISDS). Mekanisme inilah yang perlu diwaspadai, karena berpotensi merongrong kedaulatan negara demi melindungi kepentingan modal asing.

Pedang Investor dan Kedaulatan yang Terancam
ISDS adalah mekanisme yang memungkinkan investor (perusahaan) asing menggugat negara tuan rumah (host state) di tribunal arbitrase internasional jika kebijakan baru negara tersebut dianggap merugikan investasi mereka. ISDS, yang tertanam dalam banyak Perjanjian Investasi Bilateral (BIT), awalnya dirancang untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi investor asing. Namun, dalam perkembangannya, mekanisme ini telah menuai kritik keras dan menciptakan krisis legitimasi global.
Ketika suatu negara membuat undang-undang atau kebijakan publik misalnya, untuk melindungi lingkungan, memberlakukan standar kesehatan yang ketat, atau menyesuaikan pajak demi keadilan – negara tersebut dapat seketika menghadapi tuntutan miliaran dolar dari investor asing melalui ISDS.
Ini menciptakan yang disebut “Regulatory chill”, negara menjadi takut untuk membuat kebijakan yang sebenarnya dibutuhkan rakyat karena khawatir akan digugat dan didenda. Dengan kata lain, hak legislatif negara untuk mengatur demi kepentingan umum menjadi terancam oleh risiko tuntutan arbitrase.
Selain masalah kedaulatan, ISDS bermasalah dari segi proses:
1. Biaya yang Sangat Mahal, Biaya arbitrase ini sangat besar, membebani anggaran negara, bahkan jika negara tersebut memenangkan kasus.
2. Tidak Konsisten dan Tertutup, Prosesnya seringkali tidak transparan, dan para arbitrer (yang seringkali merupakan pengacara investasi swasta) dapat mengeluarkan putusan yang tidak konsisten, berbeda dengan sistem peradilan publik yang memiliki mekanisme banding dan preseden yang jelas.
Solusi
Menyadari ancaman ini, banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengambil langkah strategis. Indonesia, yang pernah beberapa kali digugat di forum ISDS, telah mengambil inisiatif untuk merevisi atau mengakhiri puluhan Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) yang mengandung klausul ISDS lama. Langkah ini menunjukkan komitmen untuk menempatkan kedaulatan dan kepentingan rakyat di atas janji-janji perlindungan investor yang berlebihan.
Terdapat pula usulan reformasi global yang patut didukung, seperti proposal Uni Eropa untuk membentuk Investment Court System (ICS). ICS dirancang untuk menjadi alternatif yang lebih transparan dan menyerupai pengadilan publik, bukan arbitrase komersial. ICS menawarkan harapan untuk menyeimbangkan perlindungan investor dengan hak negara untuk mengatur.
Kesimpulan
Sistem penyelesaian sengketa internasional harus berfungsi untuk semua subjek hukum, bukan hanya sebagai alat penekan oleh pemodal global. Sementara ICJ berupaya menegakkan prinsip-prinsip hukum yang ideal, mekanisme seperti ISDS justru menunjukkan bahwa realitas politik dan ekonomi seringkali lebih dominan.
Sudah waktunya bagi komunitas internasional untuk mengakui bahwa ISDS saat ini lebih merupakan “pedang” bagi investor daripada “perisai” bagi negara. Indonesia harus terus memperkuat posisinya, mempercepat reformasi perjanjian investasi, dan mempromosikan Investment Court System atau model lain yang menjamin keadilan, transparansi, dan yang terpenting, tidak mengorbankan kedaulatan negara dalam pembuatan kebijakan publik demi masa depan yang lebih adil.
Referensi :
1. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) — Pasal 2 (3) tentang penyelesaian sengketa secara damai dan Pasal 33 tentang metode penyelesaian sengketa.
2. Statuta Mahkamah Internasional (ICJ) — Terkait kriteria sengketa.
3. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) — UNCTAD secara rutin menerbitkan laporan tentang reformasi BIT dan ISDS, termasuk dampak regulatory chill. “Investor-State Dispute Settlement Reform.”
4. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia atau BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal
5. Komisi Eropa (European Commission) penggagas utama dari Investment Court System (ICS). Referensikan proposal mereka sebagai solusi untuk menggantikan ISDS.
Nama Lengkap : Alvina Damayanti
Program studi : PPKn
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas : Pamulang
Tugas Mata Kuliah : Hukum International
Dosen Pengampu : Dr. Herdi Wisman Jaya S.Pd., M.H.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”































































