PAKAR DESAK EVALUASI TOTAL
Kota Tebing Tinggi, (19/12) – Langkah Pemerintah Kota Tebing Tinggi yang mengampanyekan Gerakan Ayah Mengambil Rapor (GEMAR) melalui jejaring media sosial resmi memicu gelombang diskusi publik. Meski niat awalnya bertujuan memperkuat ketahanan keluarga, kampanye ini dianggap kurang mempertimbangkan keberagaman struktur sosial masyarakat.
Intervensi Pemerintah di Media Sosial
Pemko Tebing Tinggi melalui akun-akun resminya secara masif mengunggah ajakan agar para ayah meluangkan waktu secara khusus untuk mengambil rapor anak di sekolah. Pemerintah berargumen bahwa kehadiran ayah dapat menurunkan angka kenakalan remaja dan memperkuat keterlibatan pria dalam ranah domestik.
Namun, unggahan tersebut justru dibanjiri komentar kritis dari warganet. Banyak yang menilai kampanye ini kurang peka terhadap kondisi riil di lapangan, seperti orang tua tunggal (single parent) atau pekerja sektor informal yang tidak memiliki fleksibilitas waktu.
Pro dan Kontra: Dua Sisi Koin
Meskipun memiliki niat mulia, implementasi gerakan ini tidak lepas dari kritik. Berikut adalah poin-poin yang menjadi pusat perdebatan:
Sudut Pandang dan alasan Utama dari:
Pihak Pendukung Mendorong kesetaraan peran pengasuhan (coparenting), mengurangi beban mental ibu, dan memberikan kebanggaan tersendiri bagi anak.
Pihak Kontra/Kritik Berpotensi memicu rasa sedih atau “rendah diri” bagi anak-anak yang yatim, anak dari keluarga broken home, atau anak yang ayahnya bekerja jauh (perantau).
Analisis Ahli: Titik Lemah Kebijakan
Para ahli sosiologi dan psikologi anak (yang tak ingin disebutkan namanya) menyarankan agar Pemko Tebing Tinggi segera meninjau ulang pendekatan ini. Beberapa poin krusial yang perlu diperhatikan adalah:
Sensitivitas Kondisi Keluarga: Kebijakan yang terlalu menekankan sosok “Ayah” secara spesifik dapat melukai psikologis anak yang kehilangan figur ayah (yatim) atau anak dari keluarga yang tidak utuh.
Kendala Struktural: Banyak ayah bekerja di sektor yang tidak memberikan izin cuti dengan mudah. Menekan mereka untuk hadir tanpa ada regulasi pelindung dari Dinas Tenaga Kerja hanya akan menciptakan tekanan mental baru.
Redefinisi Keterlibatan: Keterlibatan orang tua tidak seharusnya diukur hanya dari satu hari pengambilan rapor, melainkan konsistensi pendampingan belajar di rumah.
Tuntutan Peninjauan Ulang
Merespons polemik tersebut, sejumlah organisasi pemerhati anak mendesak Pemko Tebing Tinggi untuk:
Membuka Ruang Dialog: Mengundang pakar pendidikan dan perwakilan orang tua untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif.
Mengubah Narasi: Menggeser diksi “Ayah Mengambil Rapor” menjadi “Hari Keterlibatan Orang Tua” untuk merangkul semua wali murid tanpa terkecuali.
Fleksibilitas Sekolah: Mendorong sekolah menyediakan opsi waktu yang lebih longgar bagi orang tua pekerja.
“Kebijakan publik tidak bisa hanya bermodalkan jargon di media sosial. Harus ada kajian dampak sosiologis agar tidak ada anak atau orang tua yang merasa terstigma karena kondisi ekonomi atau status keluarga mereka,” ungkap Dr. Aris Munandar, pengamat kebijakan pendidikan.
Seorang praktisi pendidikan, Budi Santoso, juga mengungkapkan bahwa sekolah sebaiknya tidak mewajibkan secara kaku.
“Tujuannya bagus untuk mengaktifkan peran ayah. Namun, kita harus sensitif terhadap latar belakang keluarga setiap murid yang beragam. Jangan sampai kebijakan yang niatnya inklusif malah menjadi eksklusif bagi sebagian anak,” ujarnya.
Di sisi lain, para ibu di media sosial banyak yang merasa terbantu. Mereka berpendapat bahwa pengambilan rapor adalah momen krusial bagi ayah untuk mendengar langsung evaluasi guru, bukan sekadar menerima laporan “tangan kedua” dari istri.
Polemik ini menjadi pengingat bahwa komunikasi publik pemerintah daerah harus bersifat inklusif. Pemerintah Kota Tebing Tinggi diharapkan segera mengeluarkan pedoman baru yang lebih merangkul seluruh lapisan masyarakat agar tujuan mulia memperkuat pendidikan anak tidak justru menciptakan sekat sosial baru.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”







































































