Opini: Belajar dari Nepal, Menyikapi Tuntutan Rakyat di Indonesia
Nepal hari ini sedang bergejolak. Demonstrasi yang merebak di Kathmandu dan kota-kota lain menggambarkan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap pemerintah. Isu korupsi, lemahnya tata kelola, serta ketidakmampuan elite menjawab kebutuhan mendesak rakyat telah meruntuhkan kepercayaan publik. Gelombang protes itu adalah pengingat pahit: ketika saluran formal demokrasi tersumbat, jalanan menjadi forum terakhir bagi rakyat untuk bersuara.
Fenomena di Nepal mengajarkan satu hal mendasar: krisis politik selalu berakar pada krisis kepercayaan. Rakyat yang merasa diabaikan akhirnya memilih bahasa yang paling keras agar didengar. Dan begitu kepercayaan runtuh, legitimasi kekuasaan pun rapuh.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Indonesia mungkin tidak sedang berada pada titik genting seperti Nepal, tetapi tanda-tanda keresahan sosial tidak bisa diabaikan. Mahasiswa, buruh, petani, hingga komunitas sipil kian sering menyuarakan tuntutan: transparansi kebijakan, tata kelola sumber daya alam yang adil, perlindungan lingkungan, serta peningkatan kesejahteraan.
Aksi massa yang muncul belakangan bukan sekadar ekspresi spontan, melainkan refleksi dari kegelisahan mendalam: bahwa jarak antara janji politik dan kenyataan kian melebar. Jika sinyal ini tidak terbaca, Indonesia bisa berjalan di jalan yang sama dengan Nepal di mana ketidakpuasan kecil yang dibiarkan membesar menjadi krisis besar.
Pilihan Pemerintah: Mendengar atau Membisu
Pemerintah Indonesia memiliki dua pilihan: membuka telinga untuk rakyat, atau menutupnya rapat-rapat. Belajar dari Nepal, pilihan kedua hanya akan mempercepat jurang antara negara dan warga. Menutup telinga mungkin memberi rasa aman sesaat bagi elite, tetapi pada akhirnya akan menumpuk bara yang suatu hari bisa menyala lebih besar.
Sebaliknya, mendengar rakyat bukanlah kelemahan. Justru di situlah kekuatan negara diuji: berani transparan, jujur, dan membuka ruang dialog yang tulus. Demokrasi bukan tentang memenangkan semua debat, tetapi tentang memberi ruang agar suara rakyat dihargai sebagai dasar pengambilan keputusan.
Demokrasi dan Modal Kepercayaan
Kepercayaan publik adalah modal politik yang lebih berharga dari sekadar kursi kekuasaan. Negara bisa memiliki infrastruktur megah, kebijakan luar negeri yang kuat, atau pertumbuhan ekonomi yang stabil, tetapi jika rakyat tidak percaya pada pemimpinnya, semuanya bisa runtuh dalam sekejap.
Kepercayaan dibangun dari hal-hal sederhana: keterbukaan informasi, konsistensi antara janji dan tindakan, serta kesediaan pemimpin untuk hadir di tengah rakyat saat mereka menderita. Inilah yang sedang hilang di Nepal, dan inilah pula yang harus dijaga di Indonesia.
Harapan dan Peringatan
Indonesia masih memiliki ruang untuk menghindari jalan buntu. Gejolak Nepal seharusnya menjadi peringatan dini, bukan sekadar tontonan berita internasional.
Kita tentu berharap agar Indonesia tidak harus belajar dari krisis dengan cara yang pahit. Namun, harapan itu hanya bisa terwujud jika pemerintah berani mengakui: suara rakyat bukan ancaman, melainkan fondasi yang membuat negara kokoh.
Karena pada akhirnya, rakyat bukan musuh yang harus ditakuti. Mereka adalah pemilik sah republik ini. Dan negara hanya akan kuat sejauh ia mampu berdiri di atas kepercayaan warganya.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”