Cerita rakyat, upacara adat, dan adat istiadat yang diturunkan dari generasi ke generasi baik secara lisan maupun non lisan kerap dipandang sebagai suatu hal yang “ lumrah ” – padahal di sanalah jejak-jejak identitas suatu masyarakat dipertahankan. Dalam perubahan zaman yang begitu cepat, mempertahankan cerita dan tradisi merupakan sebuah tantangan, khususnya di daerah pesisir yang mengalami migrasi, modernisasi, dan tekanan ekonomi.
Folklor yang hidup di tengah masyarakat Blacanan terhitung sangat beragam, mulai dari tradisi nyadran, sedekah bumi, sedekah laut, sesajen setiap malam jumat, hingga mitos kepiting putih. Folklor sendiri bersifat anonim atau tidak diketahui secara pasti awal kemunculannya dan siapa penciptanya. Dalam hal ini, folklor yang ada seringkali disebarkan melalui mulut ke mulut. Sayangnya, tidak menutup kemungkinan bahwa folklor yang ada dapat mulai terlupakan dan tersingkirkan. Padahal, folklor seringkali memuat pesan dari leluhur yang dapat berguna untuk menjadi kontrol sosial masyarakat. Misalnya di Desa Blacanan, terdapat mitos mengenai mitos kepiting putih.
Menurut masyarakat setempat, kepiting putih dipercaya membawa kesialan, siapa pun yang menangkap atau membawa pulang hewan ini dipercaya akan mengalami penurunan hasil tangkapan, bahkan bisa menghadapi kesialan dalam kehidupannya. Mitos ini menjadi bagian dari sistem kepercayaan masyarakat nelayan yang memiliki hubungan sangat dekat dengan laut, sekaligus mencerminkan cara komunitas pesisir memahami dan merespons fenomena alam yang mereka hadapi secara turun-temurun.

Menariknya, meskipun mitos tersebut bernuansa magis, sebagian masyarakat justru memiliki penafsiran ekologis terhadap kemunculan kepiting putih. Bagi mereka, kemunculan hewan ini menandai pergantian musim, dari kemarau menuju musim hujan. Bahkan, kepiting putih tak hanya ditemukan di laut, melainkan juga di selokan atau genangan air di sekitar permukiman. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Blacanan secara tidak langsung telah membangun pengetahuan ekologis lokal berdasarkan pengalaman empiris mereka sendiri. Kepercayaan terhadap kepiting putih tidak semata-mata soal mitos, tetapi juga merefleksikan pemahaman kolektif terhadap dinamika lingkungan hidup.
Seiring dengannya berkembangnya zaman, mitos ini mulai ditinggalkan dan mulai dilupakan oleh masyarakat setempat. Sebagian nelayan memilih untuk tidak memusingkan hal tersebut ketika hasil tangkapan mereka mendapat kepiting putih. Meskipun begitu, mitos tersebut telah menjadi salah satu folklor yang hadir di Desa Blacanan dan harus terus dilestarikan.
Berdasarkan pernyataan diatas, salah satu mahasiswa KKN-T Tim 15 TA 2025 di Desa Blacanan, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan, terdorong untuk mendokumentasikan kehidupan budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan menyusun sebuah buku yang berjudul “BLACANAN DALAM BUDAYA: Menjelajahi Tradisi dan Eksistensi Masyarakat Pesisir”. Penyusunan buku ini sebagai luaran dari program kerja individu yang berusaha untuk mendokumentasikan budaya lokal masyarakat Blacanan, terutama mengenai berbagai folklor seperti mitos, ritual, dan tradisi lisan yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Pemberian Buku Blacanan Dalam Budaya Sebagai Bentuk Kenang-Kenangan Kepada Balai Desa Blacanan.
Dosen Pembimbing:
Riris Tiani, S.S., M.Hum.
Fajrul Falah, S.Hum. M.Hum.
Dr. Nailul Fauziyah, M.Psi.
Penulis:
Ika Alfina Achmad