Olimpiade sains, debat, lomba karya tulis, hingga kompetisi startup mahasiswa kini menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan. Budaya kompetisi akademik sering dipandang sebagai ajang bergengsi untuk mengukur kemampuan dan mengasah potensi. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah kompetisi ini benar-benar memotivasi, atau justru menambah beban psikologis bagi pelajar dan mahasiswa?
Kompetisi Sebagai Ajang Pengembangan Diri
Kompetisi akademik dapat menjadi wadah untuk mengasah keterampilan berpikir kritis, kreativitas, hingga kerja sama tim. Banyak siswa dan mahasiswa yang justru menemukan kepercayaan diri dan passion mereka melalui ajang-ajang seperti ini.
Selain itu, penghargaan dan prestasi dari lomba dapat membuka peluang baru, mulai dari beasiswa, jaringan profesional, hingga akses karier yang lebih luas. Dengan kata lain, kompetisi bisa menjadi batu loncatan bagi masa depan.
Tekanan dan Beban Psikologis
Namun, tidak sedikit pula yang merasa bahwa budaya lomba akademik membawa tekanan besar. Ekspektasi dari sekolah, orang tua, maupun diri sendiri membuat kompetisi bukan lagi tentang belajar, tetapi tentang “siapa yang menang.”
Kegagalan dalam lomba bisa menimbulkan rasa minder, cemas, bahkan burnout. Ketika kompetisi menjadi tujuan utama, esensi pendidikan sebagai proses belajar justru terpinggirkan.
Dari Kompetisi Menuju Kolaborasi
Beberapa kalangan akademisi mendorong agar budaya kompetisi tidak hanya menekankan pada rivalitas, tetapi juga membuka ruang kolaborasi. Ajang akademik bisa diarahkan menjadi sarana berbagi ide, membangun jejaring, dan menciptakan inovasi bersama.
Dengan pendekatan ini, semangat berkompetisi tetap ada, tetapi tidak menutup kemungkinan peserta belajar satu sama lain dan tumbuh bersama.
Kesimpulan
Budaya lomba akademik ibarat pedang bermata dua. Ia bisa memacu motivasi, namun juga berpotensi menciptakan tekanan yang berlebihan.
Kuncinya adalah keseimbangan: kompetisi sebaiknya dipandang sebagai sarana belajar, bukan sekadar adu gengsi. Jika diarahkan dengan bijak, kompetisi dapat menjadi pendorong prestasi. Namun jika berlebihan, ia hanya akan menjadi beban yang menggerus semangat belajar.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com