Di dunia kampus yang seharusnya menjadi wadah bagi pertukaran ide dan pembelajaran kritis, sering kali kita menyaksikan fenomena yang ironis: kelas yang sepi senyap ketika dosen bertanya. Ruangan yang penuh mahasiswa muda, yang di luar kelas begitu vokal di media sosial membagikan opini tentang politik, budaya, atau isu-isu hangat tiba-tiba menjadi bisu total. Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada budaya “takut salah” yang telah membudaya dalam sistem pendidikan tinggi kita. Budaya ini tidak hanya menghambat kreativitas, tetapi juga menjadikan kelas sebagai ruang yang menakutkan, bukan tempat belajar yang aman.
Budaya takut ini berakar dari beberapa faktor psikologis dan struktural yang saling terkait. Pertama, ada rasa takut ditertawakan oleh teman sekelas. Dalam kelas yang kompetitif, jawaban yang dianggap “aneh” atau “salah” sering kali menjadi bahan ejekan, meskipun hanya dalam bentuk senyum atau bisikan. Ini menciptakan stigma bahwa berpendapat berarti mengambil risiko dipermalukan.
Kedua, takut jawaban “salah” yang dianggap sebagai kegagalan pribadi. Banyak mahasiswa percaya bahwa pendapat mereka harus sempurna, padahal proses belajar melibatkan trial and error. Sistem penilaian yang menekankan akurasi mutlak seperti ujian atau tugas yang hanya menghargai jawaban benar memperkuat keyakinan ini. Salah satu jawaban bisa berarti nilai turun, yang pada akhirnya memengaruhi IPK dan masa depan karir.
Ketiga, takut dianggap bodoh oleh dosen atau teman. Di era informasi yang melimpah, mahasiswa sering merasa harus “pintar” sebelum berbicara. Mereka takut pendapat mereka dianggap naif atau tidak mendalam, sehingga lebih memilih diam daripada terlihat “kurang” di mata orang lain.
Terakhir, takut dimatikan atau diabaikan oleh dosen. Beberapa dosen, meskipun tidak sengaja, menciptakan atmosfer yang intimidatif dengan respons yang ketus atau koreksi yang keras. Ini membuat mahasiswa merasa bahwa berpendapat adalah tindakan berisiko, bukan bagian dari diskusi sehat.
Dampak dari budaya ini sangat merusak bagi proses pendidikan. Diskusi kelas menjadi mati suri, karena mahasiswa enggan berpartisipasi. Alih-alih menjadi forum interaktif, kelas berubah menjadi monolog dosen yang menyampaikan materi satu arah. Ini menghilangkan peluang untuk eksplorasi ide-ide baru, debat konstruktif, dan pengembangan keterampilan berpikir kritis.
Mahasiswa pun menjadi pasif, hanya menerima informasi tanpa memprosesnya secara aktif. Mereka belajar untuk menghafal fakta, bukan untuk menganalisis atau berinovasi. Akibatnya, ilmu pengetahuan hanya mengalir satu arah: dari dosen ke mahasiswa, tanpa umpan balik atau kontribusi dari yang belajar. Ini tidak hanya membuang potensi intelektual mahasiswa, tetapi juga membuat pendidikan kurang efektif dalam mempersiapkan mereka menghadapi dunia nyata yang penuh tantangan.
Ironisnya, dunia kampus sering kali mengklaim ingin membentuk mahasiswa yang kritis dan inovatif. Kurikulum dirancang untuk mendorong pemikiran bebas, dengan mata kuliah seperti filsafat, etika, atau studi sosial yang menuntut analisis mendalam. Namun, dalam praktiknya, kampus gagal memberikan ruang aman untuk berpendapat. Tidak ada mekanisme yang melindungi mahasiswa dari risiko kesalahan seperti diskusi anonim, feedback yang konstruktif, atau penghargaan atas upaya, bukan hanya hasil.
Ini menciptakan kontradiksi besar, kampus mendorong mahasiswa untuk berani, tapi sistemnya sendiri membangun tembok takut. Akibatnya, mahasiswa belajar untuk menghindari risiko, bukan untuk mengambilnya. Ini bukan hanya masalah individu, melainkan kegagalan sistemik yang perlu diperbaiki.
Salah itu bukanlah musuh, melainkan bagian integral dari proses belajar. Sejarah penuh dengan inovasi yang lahir dari kesalahan dari penemuan penicillin oleh Alexander Fleming hingga teori relativitas Einstein yang awalnya dianggap “salah”. Kampus harus bertransformasi menjadi ruang aman untuk berpikir, bukan ruang takut. Ini berarti dosen perlu lebih empati, mahasiswa didorong untuk berpendapat tanpa hukuman, dan sistem penilaian yang lebih fleksibel.
Hanya dengan demikian, kelas bisa hidup kembali, dan mahasiswa bisa tumbuh menjadi individu yang benar-benar kritis dan berani. Mari kita ubah budaya takut ini menjadi budaya belajar yang inklusif dan penuh semangat.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































