Bukan Salah Korban: Saatnya Kita Berhenti Menyalahkan yang Tersakiti
Bayangkan jika setiap langkahmu diselimuti rasa takut bukan karena gelap malam, tapi karena pandangan orang yang menghakimi. Bayangkan harus menanggung luka, tapi justru dituduh sebagai penyebabnya. Inilah kenyataan pahit yang masih dihadapi banyak korban kekerasan seksual di Indonesia hari ini.
Luka Sosial yang Tak Kunjung Sembuh
Kekerasan seksual masih menjadi luka kemanusiaan yang belum sembuh di Indonesia. Luka ini bukan hanya milik korban, tetapi milik seluruh bangsa yang gagal menjaga martabat manusia. Di era digital yang seharusnya membuka ruang edukasi dan kesetaraan, kekerasan justru menemukan bentuk-bentuk baru lebih tersembunyi, lebih kompleks, dan kadang lebih kejam.
Pelecehan, pemerkosaan, eksploitasi seksual, hingga kekerasan digital seperti sextortion, penyebaran konten intim tanpa izin (non-consensual sharing), sampai pelecehan melalui pesan daring menjadi ancaman nyata bagi siapa pun. Perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas adalah yang paling rentan menjadi korban.
Budaya Menyalahkan Korban Masih Kuat
Data dari Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun. Namun angka tersebut hanyalah puncak gunung es. Banyak korban memilih diam karena takut, malu, atau tidak percaya pada penegak hukum.
Budaya victim blaming atau menyalahkan korban masih kuat di masyarakat. Pakaian, gaya hidup, bahkan latar belakang pribadi korban sering dijadikan alasan pembenaran atas kejahatan. Padahal, kekerasan seksual terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan dan hilangnya rasa hormat terhadap hak tubuh seseorang, bukan karena perilaku korban. Akibatnya, banyak korban memilih untuk menanggung luka sendirian, membungkam penderitaan mereka demi menghindari cibiran sosial, sementara pelaku berjalan bebas tanpa rasa bersalah
Pelaku Tak Selalu Orang Asing
Yang lebih menyedihkan, pelaku kekerasan seksual sering kali bukan orang asing. Banyak kasus dilakukan oleh orang yang dikenal korban guru, atasan, rekan kerja, pasangan, atau bahkan anggota keluarga. Hal inilah yang menjadikan kekerasan seksual begitu sulit dideteksi dan ditindak, karena berlangsung dalam relasi yang mengandung kepercayaan atau ketergantungan.
Ketika kekerasan datang dari orang terdekat, trauma yang ditinggalkan jauh lebih dalam. Korban kehilangan kepercayaan diri, terguncang secara psikologis, dan kesulitan memulihkan diri tanpa dukungan yang memadai.
UU TPKS: Langkah Maju yang Perlu Ditegakkan
Pemerintah telah mengambil langkah penting melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini menempatkan korban sebagai subjek hukum yang berhak atas perlindungan, pendampingan, dan pemulihan, bukan sekadar saksi dalam perkara pidana.
Namun, tantangan terbesar ada pada pelaksanaan di lapangan. Banyak korban masih diperlakukan seolah-olah mereka yang bersalah. Aparat penegak hukum yang belum sensitif terhadap isu gender kerap membuat proses hukum menjadi pengalaman traumatis baru. Selain itu, fasilitas pendukung seperti rumah aman, layanan konseling, dan pendamping hukum masih terbatas terutama di daerah. Padahal, aspek pemulihan ini sangat penting agar korban dapat kembali menjalani hidupnya dengan rasa aman dan bermartabat.
Peran Media Massa dan Pendidikan Seksualitas
Penanganan kekerasan seksual tidak bisa diserahkan pada pemerintah saja. Diperlukan kerja sama lintas sektor termasuk peran media massa. Media seharusnya tidak sekadar memberitakan kasus untuk menarik klik, tetapi harus mengedukasi masyarakat dengan perspektif yang berpihak pada korban. Identitas dan detail pribadi korban tidak boleh dipublikasikan karena dapat memperparah trauma.
Selain itu, penting untuk memperkuat pendidikan seksualitas yang berperspektif kesetaraan gender. Pendidikan ini bukan ajakan untuk perilaku bebas, melainkan upaya membangun pemahaman tentang batas tubuh, rasa hormat, dan tanggung jawab dalam relasi sosial. Anak-anak dan remaja perlu diajarkan untuk berani berkata “tidak” dan tahu kepada siapa mereka dapat melapor.
Membangun Budaya Baru: Hormat dan Empati
Kekerasan seksual bukan sekadar persoalan hukum, melainkan refleksi dari budaya patriarki yang menempatkan kelompok tertentu dalam posisi subordinat. Selama ketimpangan ini dibiarkan, kekerasan akan terus berulang.
Kita perlu membangun budaya baru budaya yang menjunjung rasa hormat, empati, dan kesetaraan. Melindungi korban bukan hanya kewajiban hukum, tetapi tanggung jawab moral seluruh masyarakat: keluarga, sekolah, lembaga pemerintah, dan media.
Penutup: Katakan “Tidak” untuk Kekerasan
Saatnya kita berhenti menormalisasi perilaku yang melecehkan. Berhenti menertawakan candaan seksis. Berhenti menyalahkan korban. Tugas ini bukan hanya milik aparat penegak hukum atau lembaga pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab moral seluruh lapisan Masyarakat mulai dari keluarga, sekolah, komunitas, hingga media. Karena setiap kali kita diam, kita ikut membiarkan kekerasan itu terus terjadi.
Kita harus menegaskan: tubuh seseorang bukan objek yang bisa dikendalikan atau dieksploitasi oleh siapa pun. Setiap individu berhak atas rasa aman, martabat, dan kebebasan umtuk menentukan kehendaknya. Perjuangan melawan kekerasan seksual bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi tentang membangun peradaban yang berkeadilan peradaban yang berani berkata: Tidak untuk kekerasan. Tidak untuk eksploitasi. Ya untuk kemanusiaan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”