Bullying Masih Jadi Luka Sosial, 7 dari 10 Siswa Indonesia Pernah Jadi Korban
Jakarta — Fenomena bullying di Indonesia kembali menjadi sorotan publik setelah serangkaian kasus kekerasan verbal dan digital menimpa pelajar di berbagai daerah. Di balik candaan dan ejekan yang tampak sepele, tersimpan luka psikologis mendalam yang dialami para korban.
Penelitian terbaru menunjukkan angka yang mencengangkan. Berdasarkan riset Journal Pendidikan dan Psikologi Indonesia (2023) terhadap 1.452 siswa SMA di enam provinsi, 69,64 persen siswa mengaku pernah menjadi korban cyberbullying. Fenomena serupa juga ditemukan dalam studi PubMed (2024), yang melaporkan bahwa 19,9 persen remaja Indonesia menjadi korban bullying di sekolah.
“Bullying sudah menjadi luka sosial yang sistemik. Ia tidak hanya terjadi karena perilaku individu, tapi juga akibat budaya yang membenarkan kekerasan,” ujar psikolog pendidikan, Dr. Rina Setyawati, dalam wawancara dengan Tempo.co.
Candaan yang Mengandung Kekerasan
Bullying sering kali dimulai dari hal-hal kecil, panggilan ejekan, komentar merendahkan, atau pengucilan teman sebaya. Namun, bentuk sederhana itu bisa berkembang menjadi kekerasan psikologis serius.
Budaya candaan yang kerap dijadikan alasan pembenaran membuat perilaku bullying semakin sulit diberantas. Di sekolah, misalnya, tindakan mempermalukan teman dianggap bagian dari latihan mental. Di tempat kerja, junior dianggap wajar dimarahi di depan umum. Sementara di media sosial, komentar kasar justru dipandang sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Masalahnya, masyarakat kita masih mentoleransi kekerasan dalam bentuk verbal. Akibatnya, korban kehilangan rasa aman, bahkan bisa mengalami trauma jangka panjang, tambah Rina.
Ledakan Kekerasan di Dunia Digital
Era media sosial memperluas arena bullying ke ruang tanpa batas. Kini, kekerasan tidak lagi berhenti di tembok sekolah, melainkan menembus layar ponsel setiap korban.
Survei Jentera Institute (2021) terhadap 3.077 siswa di 34 provinsi menunjukkan 45,35 persen siswa mengaku pernah menjadi korban cyberbullying, sementara 38,41 persen lainnya pernah menjadi pelaku. Bentuk kekerasan digital yang paling umum adalah komentar menghina, penyebaran foto tanpa izin, dan pelecehan melalui pesan pribadi.
Internet memperkuat perilaku tidak etis karena anonimitas. Orang merasa aman untuk menyerang tanpa konsekuensi, kata Dian Anggraini, aktivis literasi digital dari SAFEnet.
Dampak Psikologis, Luka yang Tak Terlihat
Korban bullying sering kali hidup dalam ketakutan dan kehilangan rasa percaya diri. Luka psikis mereka jauh lebih dalam daripada luka fisik.
Penelitian dari Universitas Surya Global (2024) mencatat bahwa korban bullying memiliki risiko hampir dua kali lipat mengalami depresi dan kecemasan dibanding mereka yang tidak pernah dibully. Banyak korban yang kemudian menarik diri dari lingkungan sosial, prestasi menurun, bahkan mengalami ide bunuh diri.
Bullying bisa menghancurkan konsep diri seseorang. Ia menimbulkan trauma yang sering tidak disadari oleh keluarga dan guru, jelas Dr. Nurul Fitri, psikolog anak dari Universitas Indonesia.
Lemahnya Perlindungan dan Tanggung Jawab Institusi
Meski pemerintah telah memiliki UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan, implementasinya masih jauh dari harapan.
Banyak kasus bullying yang berakhir dengan mediasi kekeluargaan, tanpa memberikan keadilan pada korban. Lembaga pendidikan pun sering baru bereaksi setelah kasus viral di media sosial.
Masalah utama kita adalah budaya tutup mata. Sekolah lebih takut nama baiknya tercoreng daripada menyelamatkan korban, ujar Hesti Arsyad, peneliti kebijakan pendidikan dari Pusat Kajian Anak dan Remaja.
Membangun Kesadaran Baru
Para ahli sepakat bahwa pencegahan bullying harus dimulai dari perubahan kesadaran sosial. Orang tua perlu mengajarkan empati sejak dini, sekolah harus menjadi ruang aman untuk tumbuh, dan media perlu berhenti mengeksploitasi penderitaan korban demi klik dan tayangan.
Melawan bullying bukan sekadar urusan moral, tetapi juga tanggung jawab sosial. Setiap bentuk ejekan yang dibiarkan berarti memperpanjang rantai kekerasan.
Ketika kita menertawakan kelemahan orang lain, saat itu juga kita kehilangan kemanusiaan kita, kata Rina menutup perbincangan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
































































