Dilansir dari video kanal YouTube, Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 dijelaskan oleh Wamen Diktisaintek, Stella Christie. Kebijakan ini mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa dan para akademisi. Pemangkasan anggaran sebesar Rp306,69 triliun, yang mencakup pengurangan Rp256,1 triliun dari anggaran kementerian/lembaga dan Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah, berdampak signifikan pada sektor pendidikan tinggi. Namun, apa makna dari pemangkasan biaya terhadap masa depan perguruan tinggi dan bagaimana tanggapan serta fakta yang sebenarnya terjadi?
Pemangkasan Anggaran Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mengalami pemotongan anggaran sebesar Rp14,3 triliun dari pagu awal Rp56,6 triliun. Efisiensi ini menyasar berbagai pos, termasuk:
- Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN): Dari Rp6,018 triliun, dipotong 50% menjadi sekitar Rp3 triliun.
- Bantuan Pendanaan PTN Badan Hukum (BPPTNBH): Dari Rp2,37 triliun, dipotong 50% menjadi sekitar Rp1,185 triliun.
- Beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah: Mengalami pemotongan sebesar 9%, setara dengan Rp1,3 triliun.
- Beasiswa untuk dosen dan tenaga kependidikan: Dipangkas hingga 25%.
Pemangkasan ini berpotensi memaksa perguruan tinggi untuk mencari sumber pendanaan alternatif, termasuk kemungkinan menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa.
Kekhawatiran Kenaikan UKT
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menyatakan bahwa pemotongan anggaran BOPTN dan BPPTNBH dapat berdampak langsung pada peningkatan biaya kuliah yang harus ditanggung mahasiswa. Ia menambahkan bahwa jika efisiensi ini tidak ditinjau ulang, perguruan tinggi mungkin terpaksa menaikkan UKT untuk menutupi kekurangan dana operasional.
Ketua Majelis Rektor PTN Indonesia (MRPTNI), Eduart Wolok, menyoroti bahwa alokasi BOPTN saat ini belum mampu menutupi Biaya Kuliah Tunggal (BKT) setiap mahasiswa. Dengan adanya pemotongan, beban biaya kuliah yang harus ditanggung mahasiswa dapat meningkat, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga menengah ke bawah.
Dampak pada Mahasiswa dan Perguruan Tinggi
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menyatakan bahwa efisiensi anggaran ini dapat menyebabkan kenaikan UKT di sejumlah PTN, yang berpotensi membuat mahasiswa dari keluarga kurang mampu putus kuliah. Hal ini tentu akan menghambat target perguruan tinggi dalam menghasilkan lulusan tepat waktu dan siap kerja.
Selain itu, pemangkasan anggaran juga berdampak pada dana riset dan pengembangan di perguruan tinggi. Dari total anggaran riset sebesar Rp1,2 triliun, hanya 7% proposal penelitian yang bisa didanai. Jika anggaran riset semakin dipangkas, jumlah penelitian yang bisa didanai akan semakin berkurang, menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi di Indonesia.
Respons Pemerintah
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh berdampak pada UKT. Ia menyatakan bahwa anggaran untuk beasiswa KIP, LPDP, dan UKT perguruan tinggi telah disiapkan sebesar Rp14,69 triliun dan tidak terkena pemotongan.
“Langkah ini tidak boleh mempengaruhi keputusan perguruan tinggi mengenai UKT, yang dalam hal ini baru akan dilakukan untuk tahun ajaran baru tahun 2025- 2026 yaitu di bulan Juni dan Juli (2025),” ujar Sri Mulyani.
Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa beberapa pos anggaran pendidikan tetap mengalami pemotongan, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa dan akademisi.
Aksi Mahasiswa dan Tuntutan
Kebijakan efisiensi anggaran ini memicu aksi protes dari mahasiswa di berbagai daerah. Mereka menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang pemotongan anggaran pendidikan dan memastikan bahwa akses terhadap pendidikan tinggi tetap terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.