Dari Buku ke Swipe: Budaya Membaca di Tengah Dominasi Konten Singkat
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan pergeseran besar dalam cara masyarakat—terutama generasi muda—mengonsumsi informasi. Jika dahulu membaca buku, artikel, dan jurnal menjadi aktivitas utama dalam mencari pengetahuan, kini posisi itu mulai tergeser oleh konten singkat dan cepat saji seperti reels, shorts, dan TikTok. Muncul pertanyaan penting: apakah budaya membaca sedang berada di titik kritis?
Budaya Literasi vs. Budaya Visual
Budaya literasi, yang mencakup kemampuan memahami teks secara mendalam, menuntut konsentrasi dan waktu. Di sisi lain, budaya visual dan konten singkat menawarkan pengalaman yang instan, ringan, dan menghibur. Hal ini membuat banyak orang—terutama generasi Z—lebih tertarik mengonsumsi informasi dalam bentuk video pendek daripada membaca panjang lebar (Putri, 2023).
Padahal, kemampuan membaca mendalam sangat penting untuk pengembangan nalar kritis, logika berpikir, dan pemahaman yang komprehensif terhadap isu-isu kompleks. Ketika budaya membaca tergantikan oleh konten singkat, risiko munculnya generasi yang hanya memahami permukaan, tidak terbiasa menelaah, dan cenderung mudah terpengaruh pun semakin besar.
Fenomena Gen Z dan Paradoks Minat Baca
Menariknya, data dari GoodStats (2024) menunjukkan bahwa minat baca di kalangan Gen Z sebenarnya tergolong tinggi. Namun hanya 1% dari mereka yang secara eksplisit menyatakan tidak menyukai membaca. Ini menunjukkan adanya paradoks literasi—bukan karena tidak suka membaca, tetapi karena terbiasa dengan bentuk informasi yang cepat, visual, dan pendek.
Banyak dari mereka membaca melalui media sosial, caption, atau subtitle video—bukan buku atau artikel panjang. Ini membuat daya tahan mereka terhadap teks yang panjang dan mendalam menurun drastis. Akibatnya, informasi yang diserap cenderung bersifat sepintas dan mudah terlupakan.
Dampak TikTok dan Platform Serupa Terhadap Literasi
Penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2024) terhadap mahasiswa UIN Antasari menunjukkan bahwa penggunaan aplikasi TikTok berpengaruh pada menurunnya intensitas membaca sumber formal dan peningkatan ketergantungan pada konten ringkas. Meskipun TikTok memiliki sisi positif—seperti menyampaikan informasi edukatif secara ringkas—platform ini seringkali membuat pengguna terbiasa dengan informasi cepat tanpa verifikasi.
Konten singkat jarang memberikan ruang untuk kedalaman analisis. Sering kali ia lebih menekankan visual, efek, dan hiburan daripada keutuhan informasi. Jika terus-menerus dikonsumsi tanpa keseimbangan, hal ini bisa menggerus kemampuan analisis dan daya nalar generasi muda dalam jangka panjang.
Peran Pendidikan dan Teknologi dalam Meningkatkan Literasi
Menurunnya budaya membaca bukan berarti kita harus menolak teknologi. Justru, ini adalah momentum untuk mengintegrasikan literasi dengan media yang relevan. Buku digital, audiobook, serta konten kreatif berbasis bacaan dapat menjadi alternatif menjembatani kesenjangan antara teks panjang dan gaya konsumsi informasi modern.
Sekolah, perpustakaan, dan platform pendidikan harus mulai membuat konten yang adaptif: tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga memperkuat kemampuan berpikir kritis dan membaca mendalam. Guru dan orang tua juga perlu memberi contoh serta menciptakan ruang dialog untuk mendorong budaya literasi di rumah dan di sekolah.
Kesimpulan
Budaya membaca tidak bisa digantikan, hanya perlu disesuaikan. Di tengah dominasi konten singkat, generasi muda tetap perlu dibekali dengan kemampuan membaca mendalam agar tidak sekadar menjadi konsumen informasi, tetapi juga pemikir yang kritis dan bijak. Menyukai konten singkat bukan masalah, selama tidak menggantikan kebutuhan akan pemahaman yang mendalam. Karena pada akhirnya, pemikiran besar hanya bisa lahir dari bacaan yang kuat.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com