“Save nomor baru iPhone 17 Pro Max deep blue 2TB cash iBox.” Kalimat semacam ini belakangan mudah ditemui di media sosial, diunggah dengan bangga oleh influencer, fans yang memotret idol dengan gawai terbaru, hingga teman sebaya sendiri. iPhone bukan lagi sekadar gawai. Di kalangan Gen Z, ia kerap dibaca sebagai penanda “kelas sosial tertentu” dan status sebagai “anak hits”. Di TikTok, misalnya, muncul tren konten yang menjadikan keberhasilan membeli iPhone 17 Pro Max sebagai momen perayaan, seolah ini adalah bukti sah telah naik level dalam hidup. Berbagai laporan dan penelitian juga menunjukkan bahwa banyak anak muda membeli iPhone bukan semata karena fungsi, tetapi karena ia menawarkan prestise, kemewahan, dan citra gaya hidup modern yang dianggap lebih tinggi dibanding pengguna smartphone lain. Di tengah arus gengsi yang terus menguat ini, kasus iPhone 17 mengajak kita bertanya ulang: sejak kapan standar kecukupan dan harga diri direduksi menjadi tipe ponsel yang kita genggam?
Dalam kajian perilaku konsumen, Michael R. Solomon menjelaskan bahwa orang tidak hanya membeli produk karena fungsi praktisnya, tetapi juga karena makna simbolik yang menempel pada produk tersebut. Barang konsumsi berfungsi sebagai “bahasa” untuk menyatakan siapa diri kita, kelompok mana yang ingin kita masuki, dan citra seperti apa yang ingin kita tampilkan di depan orang lain. Dalam perspektif ini, iPhone 17 Pro Max tidak lagi sekadar alat komunikasi dengan kamera dan prosesor yang lebih cepat, melainkan simbol tertentu: tanda bahwa seseorang dianggap mapan, produktif, “anak konten” yang serius, atau bagian dari lingkaran pergaulan yang dianggap lebih tinggi. Ketika orang berlomba memamerkan iPhone 17 di media sosial, mereka sebenarnya sedang mengonsumsi makna simbolik itu menggunakan gawai sebagai cara menunjukkan status dan identitas, bukan sekadar memenuhi kebutuhan teknis.
Pandangan ini dipertajam oleh Jean Baudrillard lewat konsep konsumsi sebagai sistem tanda. Baudrillard berpendapat bahwa dalam masyarakat konsumsi, barang tidak lagi dinilai terutama dari nilai guna, tetapi dari nilai tanda: kemampuan barang tersebut menandai posisi sosial dan gaya hidup pemiliknya. iPhone 17 Pro Max, dengan reputasi sebagai ponsel premium dan citra prestise yang melekat, berfungsi sebagai tanda bahwa pemiliknya berada pada kelas tertentu, bahkan jika sebagian besar fiturnya tidak benar‑benar dibutuhkan dalam kehidupan sehari‑hari. Tren membeli iPhone lewat cicilan panjang atau memaksakan diri demi ikut hype menunjukkan bagaimana orang rela menanggung beban finansial demi mendapatkan tanda status yang sama. Di sini konsumsi berubah menjadi “investasi gengsi”: yang diburu bukan hanya apa yang bisa dilakukan ponsel itu, tetapi terutama apa yang ia wakili tentang diri pemiliknya di mata orang lain.
Melihat derasnya tren pamer iPhone 17 Pro Max di media sosial, kita perlu jujur pada diri sendiri: berapa banyak dari kita yang sebenarnya mengejar fungsi, dan berapa banyak yang diam‑diam mengejar makna simbolik di balik logo dan desainnya? Seperti dijelaskan Solomon, konsumsi bukan lagi sekadar urusan memenuhi kebutuhan, tetapi cara kita “berbicara” tentang siapa diri kita. Di media sosial hari ini, membeli iPhone 17 sering kali dibingkai sebagai tanda sudah bekerja keras, sudah “naik kelas”, atau sudah menjadi bagian dari kelompok tertentu entah itu “anak konten”, “anak hits”, atau “orang yang mapan”. Di titik ini, Baudrillard membantu kita melihat bahwa yang dikejar bukan lagi nilai guna, melainkan nilai tanda: iPhone menjadi semacam kartu identitas sosial yang diharapkan bisa mengubah cara orang memandang kita.
Masalahnya, ketika tanda itu terasa begitu penting, garis antara kebutuhan dan gengsi menjadi kabur. Orang rela mengambil cicilan panjang, mengorbankan pos pengeluaran lain, bahkan merasa rendah diri hanya karena ponselnya bukan seri terbaru. Di sinilah kita mulai terseret logika masyarakat konsumsi yang digambarkan Baudrillard: identitas dibangun dan dinegosiasikan lewat benda. Alih‑alih membenci teknologi atau mengharamkan iPhone, yang lebih mendesak adalah mengajak diri sendiri mengambil jarak sejenak dari impuls “ingin diakui” yang terus dipicu oleh konten pamer. Pertanyaannya sederhana tapi penting: apakah kita benar‑benar memilih iPhone 17 karena ia paling sesuai dengan kebutuhan dan kondisi keuangan kita, atau karena kita takut tidak diakui jika tidak memegang tanda status yang sama dengan orang lain?
Pada akhirnya, iPhone 17 Pro Max hanyalah salah satu contoh paling kasatmata dari bagaimana gawai bergeser dari alat menjadi penanda gengsi. Hari ini mungkin iPhone, besok bisa saja barang lain yang menawarkan janji identitas dan pengakuan yang serupa. Jika kita tidak waspada, hidup akan terus dihabiskan untuk mengejar tanda‑tanda status yang selalu diperbarui, sementara rasa cukup tak pernah benar‑benar tiba. Di tengah derasnya arus konsumsi simbolik ini, langkah kecil yang bisa kita ambil adalah berani mendefinisikan sendiri apa arti “cukup” dan “berhasil”, tanpa menjadikannya sekadar soal merek dan seri ponsel yang kita genggam.
Referensi
Maulida, N. (2019). Konsumerisme dalam perspektif Jean Baudrillard. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 19(2), 250–266.
Elliott, R., & Wattanasuwan, K. (1998). Brands as symbolic resources for the construction of identity. International Journal of Advertising, 17(2), 131–144
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”


































































