Sastra drama selalu menjadi cermin bagi zamannya. Di masa lampau, ia hadir di panggung sederhana, dengan lampu seadanya dan kursi penonton yang tak selalu penuh. Namun dari sanalah lahir suara-suara besar yang mengguncang kesadaran. Drama bukan sekadar pertunjukan — ia adalah bentuk perlawanan, doa, dan refleksi kehidupan manusia.
Pada masa lalu, naskah drama sering menjadi alat perjuangan. Para dramawan menulis bukan hanya untuk menghibur, tetapi juga untuk berbicara tentang realitas sosial. Di tahun-tahun sulit, panggung menjadi ruang bagi suara yang dibungkam. Nama-nama seperti W.S. Rendra, Arifin C. Noer, dan Utuy Tatang Sontani menjadikan drama sebagai senjata kesadaran. Melalui lakon-lakon mereka, rakyat diajak berpikir, bukan hanya menonton.
Sastra drama kala itu berfungsi sebagai media kritik. Bahasa tubuh, dialog, dan simbol menjadi cara halus untuk menyinggung penguasa tanpa harus berteriak. Panggung teater menjadi tempat di mana manusia belajar tentang keberanian — untuk bicara, untuk bertanya, untuk menggugat.
Namun, meskipun tema-temanya berat, drama tetap punya daya puitis. Ia bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang kemanusiaan: cinta, kehilangan, dan kesepian.
Berbeda dengan masa lampau, sastra drama saat ini mengalami transformasi besar. Dunia digital mengubah bentuk panggung dan cara orang menikmati seni. Gedung teater tak lagi menjadi satu-satunya tempat pementasan. Kini drama bisa hidup di layar kecil ponsel, di kanal YouTube, bahkan di media sosial. Naskah-naskah baru lahir dari generasi muda yang lebih cair — mereka tak lagi membicarakan kekuasaan, tapi hal-hal yang lebih dekat: identitas, keresahan hidup, atau percakapan sehari-hari.
Meski begitu, semangatnya tetap sama: menyuarakan manusia. Hanya saja, cara bicara drama kini lebih halus, lebih personal. Kalau dulu teater mengkritik sistem, kini banyak naskah yang berbicara tentang diri sendiri — tentang perasaan yang tak sempat diungkapkan, tentang luka yang ingin disembuhkan lewat seni.
Di sinilah letak keindahan drama masa kini: ia lebih intim, lebih jujur, dan lebih relevan dengan kehidupan modern.
Namun ada juga tantangan besar. Di tengah derasnya hiburan digital yang cepat dan instan, drama kadang kehilangan penontonnya. Orang lebih suka menonton video pendek daripada duduk dua jam menikmati lakon. Tetapi justru di situ nilai drama bertahan — karena ia mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, untuk mendengarkan, untuk hadir sepenuhnya.
Sastra drama, baik di masa lampau maupun kini, pada dasarnya sama-sama berbicara tentang manusia. Ia tumbuh mengikuti zaman, berubah bentuk namun tak kehilangan jiwa. Dari naskah di atas kertas hingga pementasan virtual, drama tetap menjadi ruang untuk memahami diri dan dunia.
Selama manusia masih punya rasa ingin tahu dan keinginan untuk didengar, drama tidak akan mati. Ia akan terus mencari panggungnya — di mana pun, dan kapan pun — sebab sejatinya, kehidupan itu sendiri adalah drama yang terus berjalan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




































































