Kirim Press Release
Contact Us
  • Login
  • Register
Siaran Berita
Kirim Berita Media Wanita
  • Berita Utama
  • Ekonomi & Bisnis
  • Internasional
  • Nasional
  • Properti dan Infrastruktur
  • SBTV
  • Lainnya
    • Gaya Hidup
    • Teknologi
    • Otomotif
    • English
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Pendidikan
    • Product Review
    • Sorot
    • Sport
    • Event
    • Opini
    • Profil
Siaran Berita
  • Berita Utama
  • Ekonomi & Bisnis
  • Internasional
  • Nasional
  • Properti dan Infrastruktur
  • SBTV
  • Lainnya
    • Gaya Hidup
    • Teknologi
    • Otomotif
    • English
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Pendidikan
    • Product Review
    • Sorot
    • Sport
    • Event
    • Opini
    • Profil
No Result
View All Result
Siaran Berita
No Result
View All Result
Home Opini

Demo 25 Agustus: Potret Krisis Kepercayaan Publik dan Ujian Demokrasi

yohanessoares21385 by yohanessoares21385
27 August 2025
in Opini
A A
0
Demo 25 Agustus

Demo 25 Agustus

861
SHARES
1.2k
VIEWS
Ada apa 1080 x 2787

Demo 25 Agustus: Potret Krisis Kepercayaan Publik dan Ujian Demokrasi

Gelombang demonstrasi besar yang mengguncang gedung DPR RI pada 25 Agustus 2025 menandai babak baru relasi rakyat dengan institusi negara. Aksi yang bermula dari tuntutan transparansi legislasi dan penolakan terhadap sejumlah kebijakan kontroversial berakhir ricuh: pos polisi dirusak, transportasi publik terganggu, dan ratusan demonstran ditangkap. Seorang jurnalis bahkan dilaporkan mengalami kekerasan di lapangan.

Kisruh ini bukan sekadar “keributan jalanan” yang cepat usai. Ia adalah cermin dari akumulasi ketidakpuasan publik yang lama terpendam. Reaksi keras masyarakat terhadap DPR sesungguhnya mengirim pesan tegas: ada krisis representasi dan kepercayaan yang semakin dalam.

Krisis Kepercayaan pada DPR

Demo besar 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR bukan sekadar aksi massa yang berujung ricuh. Ia adalah cermin dari jurang yang makin melebar antara rakyat dan para wakilnya. DPR, yang secara konstitusional didesain sebagai rumah aspirasi publik, kini semakin dianggap sebagai menara gading, jauh dari denyut nadi rakyat, elitis dalam sikap, dan kerap tersandera kepentingan jangka pendek politik.

Sejumlah tuduhan yang melekat pada DPR bukanlah hal baru: proses legislasi yang tertutup, minimnya transparansi, hingga lemahnya fungsi pengawasan. Di balik meja rapat paripurna, sering kali publik merasa bahwa agenda yang dibicarakan tidak lebih dari kompromi politik yang miskin keberpihakan. Bahkan, aroma transaksional dan deal-deal politik kerap lebih santer terdengar ketimbang keberanian mengawal kepentingan rakyat.

Tidak mengherankan bila politisi senior dari partai besar pun menyebut aksi 25 Agustus sebagai “alarm” keras bagi para anggota dewan. Alarm itu bukan sekadar simbolik, melainkan tanda bahwa masyarakat sudah kehabisan saluran artikulasi. Jalanan kembali menjadi ruang politik alternatif, tempat rakyat menegaskan bahwa demokrasi bukan monopoli elit.

Namun, jika kita jujur, fenomena ini hanyalah repetisi sejarah. Sejak era Reformasi, gelombang protes terhadap DPR muncul dalam siklus tertentu, mulai dari demonstrasi mahasiswa 1998, penolakan RUU kontroversial pada 2019, hingga kini pada 2025. Pola yang muncul sama: publik merasa diabaikan, suara rakyat tidak dihiraukan, sementara keputusan-keputusan strategis tetap digulirkan tanpa konsultasi bermakna.

Yang berbeda pada Agustus ini adalah eskalasi kemarahan yang lebih luas dan sulit dibendung dengan retorika normatif. Bukan hanya mahasiswa yang turun ke jalan, tetapi juga buruh, aktivis masyarakat sipil, hingga publik urban yang terdampak macet massal akibat demo. Artinya, spektrum kekecewaan meluas ke berbagai lapisan sosial. Ketika pos polisi dibakar, transportasi publik lumpuh, dan ratusan orang ditangkap, itu semua menjadi tanda serius bahwa jurang representasi sudah mencapai titik kritis.

Krisis kepercayaan ini adalah bom waktu bagi demokrasi kita. Tanpa langkah korektif yang mendalam, DPR berisiko menjadi lembaga formal yang kehilangan legitimasi substantif. Demokrasi tidak bisa hanya berhenti pada prosedur lima tahunan pencoblosan. Demokrasi yang sehat menuntut keterhubungan nyata antara rakyat dan wakilnya, melalui transparansi, partisipasi publik dalam legislasi, serta komitmen pada pengawasan yang berpihak pada kepentingan umum.

Pertanyaan besar kini mengemuka: apakah DPR berani menjadikan aksi 25 Agustus sebagai momentum refleksi, atau sekadar menanggapinya dengan jargon normatif dan represi? Jika yang dipilih adalah jalan kedua, sejarah menunjukkan bahwa jalan ketiga akan ditempuh rakyat yakni melanjutkan perlawanan di luar jalur institusional.

Pada akhirnya, demo 25 Agustus adalah peringatan keras: demokrasi tidak boleh menjadi proyek elitis yang hanya dirayakan di ruang parlemen. Demokrasi adalah kontrak sosial yang lahir dari legitimasi rakyat. Dan legitimasi itu hanya akan bertahan bila DPR kembali merendahkan telinga, membuka pintu, dan menyadari bahwa mandat kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa.

Kekerasan, Represi, dan Kebebasan Sipil

Aksi demonstrasi 25 Agustus yang terjadi di depan Gedung DPR sejatinya adalah bentuk ekspresi demokratis warga negara. Di ruang publik yang sehat, demonstrasi adalah mekanisme sah untuk menyuarakan keresahan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Namun, ironinya, ruang demokrasi itu justru ternodai oleh kekerasan dan represi, baik dari sebagian demonstran maupun aparat keamanan.

Laporan media memperlihatkan bahwa kericuhan bukan hanya soal adu dorong dan lempar batu, tetapi juga melibatkan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat. Penangkapan massal terhadap sekitar 370 orang, tanpa penjelasan transparan mengenai status hukum mereka, menimbulkan tanda tanya besar. Lebih dari sekadar masalah teknis keamanan, ini adalah persoalan prinsipil yang menyentuh inti kebebasan sipil dalam negara demokratis. Tidak berhenti di situ, intimidasi bahkan menyasar jurnalis yang sedang meliput, dengan kasus pemukulan terhadap seorang reporter Antara menjadi simbol nyata bagaimana represi dapat meluas hingga ke pihak yang seharusnya dilindungi.

Pertanyaan yang muncul kemudian: sejauh mana negara benar-benar berkomitmen pada kebebasan sipil? Demokrasi sejati tidak hanya diukur dari adanya pemilu atau parlemen, tetapi juga dari ruang kebebasan warga untuk menyampaikan kritik tanpa rasa takut. Kritik seharusnya dipandang bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai energi korektif untuk memperbaiki kualitas kebijakan publik. Sayangnya, ketika kritik dijawab dengan represi, yang tumbuh bukanlah solusi, melainkan spiral ketidakpercayaan yang semakin dalam.

Banner Publikasi Press Release Gratis

Represi atas nama keamanan justru kontraproduktif. Logika keamanan yang menekankan stabilitas jangka pendek sering kali gagal membaca aspirasi publik yang lebih luas. Keamanan yang dipaksakan dengan kekerasan hanya melahirkan luka kolektif, memperkuat jarak antara negara dan masyarakat, serta membuka ruang bagi radikalisasi ketidakpuasan. Negara tidak boleh mengorbankan kebebasan sipil hanya demi ketenangan sesaat; dialog, transparansi, dan akuntabilitas seharusnya menjadi kanal utama penyelesaian konflik.

Peristiwa ini menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia masih rentan terhadap penyempitan ruang sipil. Jika tren represi dibiarkan berlanjut, maka demokrasi akan kehilangan substansinya dan hanya tinggal sebatas prosedur. Ke depan, yang dibutuhkan bukanlah pengerahan aparat lebih besar, melainkan keberanian politik untuk membuka pintu dialog, mendengarkan aspirasi rakyat secara jujur, dan menjadikan kritik sebagai dasar perbaikan kebijakan.

Dengan demikian, tragedi 25 Agustus bukan sekadar catatan insiden keamanan, tetapi cermin rapuhnya komitmen negara pada kebebasan sipil. Ia menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan soal retorika, melainkan keberanian untuk menghormati suara rakyat, even ketika suara itu datang dalam bentuk teriakan di jalanan.

Media Sosial dan “Pengadilan Publik”

Salah satu dimensi yang tak bisa diabaikan dari demonstrasi 25 Agustus adalah peran media sosial dalam membingkai peristiwa. Jika pada era sebelumnya demonstrasi hanya dapat dilihat dari liputan media arus utama, kini ruang digital menjelma menjadi “panggung kedua” yang sama pentingnya, bahkan lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik. Tagar yang naik ke trending topic, video amatir yang direkam dengan ponsel, hingga siaran langsung melalui berbagai platform menghadirkan momen demonstrasi ke layar gawai jutaan orang dalam hitungan detik.

Fenomena ini menghadirkan apa yang kerap disebut sebagai pengadilan publik digital. Netizen bukan hanya penonton pasif; mereka turut menjadi hakim moral, mengomentari, mengutuk, menertawakan, sekaligus memberi legitimasi atas suatu peristiwa. Kekerasan aparat, misalnya, yang sebelumnya mungkin hanya tercatat dalam laporan tertulis, kini dengan cepat tersebar melalui video viral yang sulit dibantah. Retorika politisi yang dianggap kosong atau tidak nyambung pun dengan mudah menjadi bahan sindiran, bahkan meme, yang kemudian menyebar lebih luas daripada pidatonya sendiri.

Di titik ini, demonstrasi fisik di jalanan menemukan pasangan barunya dalam bentuk demo digital. Massa yang hadir secara langsung di depan gedung DPR hanyalah satu sisi koin, sisi lainnya adalah gaung di dunia maya yang berlipat ganda efeknya. Sebuah aksi yang secara kuantitatif mungkin terlihat kecil di lapangan bisa menjelma menjadi simbol besar perlawanan ketika narasinya menggema di ruang digital. Begitu juga sebaliknya, aksi dengan ribuan massa bisa kehilangan gaung jika gagal menarik perhatian atau simpati publik di media sosial.

Namun, kecepatan dan masifnya arus informasi di media sosial juga menghadirkan tantangan tersendiri. Pengadilan publik di dunia maya sering kali berlangsung tanpa proses verifikasi yang memadai. Fakta bercampur dengan opini, dokumentasi otentik bercampur dengan potongan video yang bisa saja dipelintir. Satu unggahan viral dapat memperkuat solidaritas, tetapi juga berpotensi mengobarkan amarah tanpa kendali, bahkan melahirkan disinformasi.

Di sisi lain, media sosial membuka peluang demokratisasi informasi yang luar biasa. Jika dulu wacana publik sangat bergantung pada media arus utama yang kerap dikontrol oleh kepentingan tertentu, kini setiap individu memiliki mikrofon sendiri. Ini memungkinkan suara-suara pinggiran, termasuk mahasiswa, aktivis, atau bahkan masyarakat biasa yang menjadi saksi mata, untuk mendapatkan panggung dan memengaruhi arus opini.

Dengan demikian, peran media sosial dalam demo 25 Agustus memperlihatkan wajah baru politik Indonesia: politik yang tidak lagi semata-mata berlangsung di ruang institusional, tetapi juga di arena digital yang cair, spontan, dan nyaris tak terkendali. Legitimasi sebuah aksi kini bukan hanya soal berapa banyak orang yang turun ke jalan, tetapi juga seberapa jauh narasinya mampu menggema di ruang digital.

Pertanyaan mendasar yang muncul: apakah negara dan institusi politik siap menghadapi kenyataan bahwa pengadilan publik digital semakin menentukan arah legitimasi politik? Jika tidak, mereka akan terus kalah oleh narasi yang lahir dari bawah, dari kamera ponsel, dari cuitan singkat, yang justru lebih dipercaya publik dibanding pernyataan resmi pejabat negara.

Demokrasi di Persimpangan

Demo 25 Agustus bukanlah sekadar letupan emosional atau keributan musiman yang akan hilang ditelan agenda politik berikutnya. Ia adalah cermin besar yang menghadapkan bangsa ini pada pertanyaan mendasar: ke mana arah demokrasi Indonesia akan dibawa? Aksi massa tersebut tidak bisa dilihat semata sebagai gangguan ketertiban, melainkan sebagai momentum reflektif bagi seluruh elemen bangsa, khususnya pemerintah dan DPR.

Pesan yang terpancar dari jalanan begitu jelas: rakyat merindukan transparansi, partisipasi, dan keberpihakan nyata dari lembaga politik. Dalam demokrasi yang sejati, mandat rakyat bukanlah sekadar angka dalam kotak suara, melainkan amanah untuk terus mendengar dan melibatkan rakyat dalam setiap keputusan strategis. Demonstrasi itu menegaskan adanya jarak yang semakin melebar antara pengambil kebijakan dengan mereka yang seharusnya dilayani. Ketika aspirasi rakyat hanya dijawab dengan bahasa prosedural atau malah represi, maka demokrasi kehilangan rohnya.

Baca Juga

gnzvfwuniedm6dm

Work-Life Balance ala Gen Z: Antara Karier, Kreativitas, dan Healing

28 August 2025
large ambivalensi emosional dalam hubungan romantis ItXTQORhZg

Pacaran Sehat: Menjalin Cinta Tanpa Kehilangan Diri

27 August 2025
unboxing

Fenomena Unboxing: Antara Kepuasan Psikologis dan Konsumtif Semata

26 August 2025
bottle of red wine minumancom

Sering Dipandang Sebelah Mata, Ternyata Ini Manfaat dari Wine

26 August 2025

Namun refleksi ini tidak hanya berlaku bagi pemerintah dan DPR. Publik pun memikul tanggung jawab yang sama besar. Aksi protes tidak boleh jatuh menjadi sekadar ledakan kemarahan tanpa arah yang berujung pada vandalisme atau kekerasan destruktif. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi rakyat yang kritis sekaligus konstruktif. Artinya, kebebasan berpendapat mesti disertai tanggung jawab etis untuk menjaga agar suara yang disampaikan tetap mengarah pada perbaikan, bukan sekadar pelampiasan emosi.

Demokrasi, dengan segala kerentanannya, ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, negara dituntut untuk terbuka, akuntabel, dan bersedia mendengar. Di sisi lain, rakyat dituntut untuk memelihara nalar kritis sekaligus menahan diri agar aspirasi tidak bertransformasi menjadi anarki. Keseimbangan antara keterbukaan negara dan tanggung jawab publik inilah yang menentukan apakah demokrasi akan terus tumbuh atau justru terjebak dalam lingkaran ketidakpercayaan.

Demo 25 Agustus memberi kita pelajaran berharga bahwa demokrasi selalu berada di persimpangan: apakah ia akan dipelihara sebagai ruang partisipasi yang sehat, atau justru dibiarkan merosot menjadi ritual prosedural tanpa makna. Persimpangan ini adalah ujian bagi pemerintah, DPR, sekaligus masyarakat sipil. Jika masing-masing mampu membaca tanda zaman dan mengambil pelajaran, maka momentum ini dapat menjadi titik balik menuju demokrasi yang lebih matang. Namun jika diabaikan, yang tersisa hanyalah jejak kemarahan tanpa arah yang terus berulang.

Dengan kata lain, keberlangsungan demokrasi Indonesia bukan ditentukan oleh satu pihak saja, melainkan oleh komitmen bersama: negara yang berani terbuka, dan rakyat yang bertanggung jawab.

Penutup

Demo 25 Agustus tidak bisa direduksi hanya sebagai “catatan hitam” dalam kalender politik 2025. Ia lebih dari sekadar unjuk rasa sesaat, ia adalah potret jernih dari krisis kepercayaan publik yang semakin menumpuk. Jalanan yang dipenuhi teriakan dan poster bukanlah kebisingan tanpa makna, melainkan jeritan kolektif dari rakyat yang merasa suaranya kerap diabaikan, aspirasinya dikecilkan, dan kedaulatannya dipertaruhkan.

Momentum ini menuntut kita semua terutama elite politik untuk melakukan koreksi mendasar terhadap praktik demokrasi yang kian menjauh dari idealnya. Demokrasi seharusnya menghadirkan ruang dialog, transparansi, dan partisipasi, bukan sekadar formalitas prosedural atau panggung retorika lima tahunan. Ketika jarak antara rakyat dan penguasa semakin melebar, demonstrasi hanyalah salah satu bentuk “alarm” yang menandai bahaya itu. Jika alarm ini diabaikan, yang menunggu di ujung jalan adalah sirene bahaya yang tak lagi bisa dikendalikan: ledakan sosial, krisis legitimasi, dan pudarnya kepercayaan terhadap negara.

Pertanyaan yang menggantung kini sederhana tetapi sangat menentukan: apakah elite politik mau belajar dari peringatan ini? Apakah mereka sanggup membuka telinga, merendahkan hati, dan membaca tanda zaman bahwa rakyat merindukan demokrasi yang lebih jujur, transparan, dan berpihak? Atau justru mereka memilih kembali menutup telinga, menepis kritik, dan terus melanggengkan praktik lama yang hanya memperdalam jurang ketidakpercayaan?

Sejarah memberi kita banyak contoh: ketika suara rakyat terlalu lama diabaikan, maka yang tersisa adalah jalan buntu penuh gejolak. Karena itu, pilihan ada di tangan para pemegang kuasa hari ini, apakah alarm demokrasi akan dimaknai sebagai peringatan untuk memperbaiki diri, ataukah ia dibiarkan menjadi sirene panjang yang menandai keruntuhan kepercayaan bangsa terhadap negaranya sendiri.

Dengan demikian, demo 25 Agustus adalah momentum yang tak boleh dipandang remeh. Ia bisa menjadi titik balik untuk memperbaiki kualitas demokrasi, atau sebaliknya, menjadi catatan awal dari krisis besar berikutnya.

 

Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
Share344Tweet215Share60Pin77SendShare
Leaderboard Puteri Anak dan Puteri Remaja Banten 2025
Previous Post

Mahasiswa KKN UIN Walisongo Bagikan Banner untuk UMKM Desa Gondang

Next Post

Healing dan Self-Care: Sains di Balik Merawat Diri

yohanessoares21385

yohanessoares21385

Related Posts

gnzvfwuniedm6dm

Work-Life Balance ala Gen Z: Antara Karier, Kreativitas, dan Healing

28 August 2025
large ambivalensi emosional dalam hubungan romantis ItXTQORhZg

Pacaran Sehat: Menjalin Cinta Tanpa Kehilangan Diri

27 August 2025
unboxing

Fenomena Unboxing: Antara Kepuasan Psikologis dan Konsumtif Semata

26 August 2025
bottle of red wine minumancom

Sering Dipandang Sebelah Mata, Ternyata Ini Manfaat dari Wine

26 August 2025
Next Post
685039881cf3d saatnya memprioritaskan self care bali

Healing dan Self-Care: Sains di Balik Merawat Diri

large ambivalensi emosional dalam hubungan romantis ItXTQORhZg

Pacaran Sehat: Menjalin Cinta Tanpa Kehilangan Diri

Blue and Gold Modern Law Firm Legal Services Promotion Instagram Post

Mempersiapkan Pidana Kerja Sosial dan Pelayanan Masyarakat

IMG 20240216 184059

MSM Parking Group Luncurkan Paket Bisnis Franchise Parkir, Investasi Mulai Rp 95 Juta

Serka Erna Widayat Babinsa Koramil 0111/Pagelaran Hadiri Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H dan Santunan Anak Yatim di Desa Margagiri

Babinsa Koramil 0111/Pagelaran Hadiri Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H dan Santunan Anak Yatim di Desa Margagiri

Please login to join discussion
Rumah Prabu Half Page
Siaran Berita

Siaran-Berita.com adalah portal media berita online yang terbuka untuk umum dan menerima kontribusi tulisan dari berbagai penulis. Tulisan yang dimuat dapat berupa berita, press release, opini, maupun bentuk tulisan lainnya.

Segala konten yang dipublikasikan di Siaran-Berita.com merupakan tanggung jawab penuh dari masing-masing penulis. Hak cipta atas isi tulisan, gambar, maupun video yang ditayangkan di situs ini sepenuhnya menjadi milik penulis atau pengunggah konten.

Follow Us

Siaran-Berita.com

Jika Anda merasa keberatan dengan adanya tulisan, gambar, atau video yang ditampilkan di situs ini karena alasan hak cipta atau alasan lainnya, silakan hubungi tim redaksi melalui email di:

📧 redaksi@siaran-berita.com

Kami akan segera meninjau dan menghapus konten yang dimaksud sesuai dengan kebijakan dan pertimbangan redaksi.

Penting! Klaim Tulisan Kamu

Sehubungan dengan serangan pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab mengakibatkan Redaksi mengalami kehilangan data dan terpaksa melakukan restore dari backup yang mengakibatkan beberapa tulisan dari penulis “berpindah” ke default “Redaksi”. Bagi yang ingin mengklaim tulisan nya silahkan tinggalkan pesan di kolom komen atau email ke : redaksi@siaran-berita.com

Square Media Wanita
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Cyber
  • Syarat dan Ketentuan
  • Disclaimer
  • Mengapa Tulisan Belum Ditayangkan?
  • Contact Us

© 2023 SIaran Berita - Pres Rilis dan Berita

Welcome Back!

Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Berita Utama
  • Ekonomi & Bisnis
  • Internasional
  • Nasional
  • Properti dan Infrastruktur
  • SBTV
  • Lainnya
    • Gaya Hidup
    • Teknologi
    • Otomotif
    • English
    • Kesehatan
    • Kuliner
    • Pariwisata
    • Pendidikan
    • Product Review
    • Sorot
    • Sport
    • Event
    • Opini
    • Profil
  • Login
  • Sign Up

© 2023 SIaran Berita - Pres Rilis dan Berita