Mataram – Aden, aktivis asal Sumbawa, serukan moratorium atau penghentian sementara izin tambang di wilayah tersebut. Ini mencakup Izin Tambang Rakyat (IPR) yang berbasis koperasi dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk perusahaan besar. Desakan ini muncul sebagai respons terhadap ancaman kerusakan lingkungan yang semakin parah, ketidakadilan fiskal yang menimpa daerah, serta dampak konflik sosial yang terus meningkat.
Usulan untuk memperkenalkan moratorium izin pertambangan menjadi semakin mendesak, terutama dengan ancaman yang semakin berkembang terhadap ekosistem. Kualitas hidup masyarakat, khususnya di daerah tambang, menunjukkan penurunan yang signifikan. Hal ini juga berlaku di Pulau Nusa Tenggara, yang tengah dihadapkan oleh berbagai masalah, termasuk banyaknya tambang ilegal dan proyek-proyek Strategis Nasional (PSN) yang memberatkan daya dukung lingkungan.
Implementasi moratorium izin pertambangan diharapkan dapat menjadi langkah penting dalam perbaikan tata kelola sektor ini, serta sejalan dengan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
“Mengapa moratorium ini sangat penting? Sebab, biaya yang dikeluarkan untuk dampak publik seperti kesehatan, kenyamanan, dan pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang didapat,” ungkap Aden, menyoroti potensi kerusakan di kawasan lindung strategis seperti Karst dan Geopark.
Aden menekankan bahwa dorongan untuk moratorium harus menjadi isu yang kuat, sehingga bisa memengaruhi kebijakan pemerintah daerah dan pusat. “Kritik dari masyarakat sipil bukanlah kritik biasa; ini adalah kritik serius karena masalah tambang merupakan ancaman nasional,” tegasnya.
Lebih dari sekadar moratorium, Aden mendorong penghentian izin tambang secara permanen. Ia mencatat bahwa ekspansi tambang dan proyek strategis telah mengikis ruang hidup masyarakat, seperti yang terjadi di sekitar Bendungan Meninting, di mana mata pencaharian warga berkurang drastis akibat hilangnya hutan.
Ia menunjukkan bahwa banyak aktivitas pertambangan ilegal berkontribusi terhadap kerusakan hutan di NTB, yang seringkali berujung pada bencana alam. Ketimpangan antara kontribusi sektor tambang dan pertanian juga mencolok. Dana Bagi Hasil (DBH) dari tambang hanya mencapai Rp118 miliar per tahun, dibandingkan dengan 60 persen kontribusi pertanian terhadap PDRB.
Meskipun pemerintah merencanakan 60 titik IPR di NTB, dengan luas 1.500 hektare, hal ini berpotensi menambah risiko bencana. “Banyak yang menguntungkan korporasi besar, sementara masyarakat hanya menjadi istilah,” tambahnya.
Diskusi tersebut mendorong organisasi sipil untuk melakukan kajian mendalam mengenai ancaman kerusakan lingkungan. Potensi pendapatan dari IPR tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Ia juga menekankan perlunya sikap serius dari pemerintah daerah untuk menyetujui moratorium, mengingat dampak pemangkasan DBH yang signifikan. “DBH untuk NTB dipangkas dari Rp1,2 triliun menjadi Rp470 miliar pada 2025, dan berkurang lagi menjadi Rp55 miliar pada 2026. Ini menunjukkan betapa besar hilangnya pendapatan,” ujarnya.
Dengan demikian, momentum untuk moratorium izin tambang di NTB sangatlah tepat. “Jika tidak ada manfaat yang diperoleh, lebih baik tidak ada izin usaha sama sekali,” pungkasnya.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”