Selama beberapa waktu terakhir, wilayah Sumatera Barat kembali dilanda bencana banjir. Air bah tidak hanya meninggalkan kerusakan, tetapi juga memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat bertahan dalam kondisi krisis. Hujan lebat yang mengguyur selama beberapa hari mengakibatkan sungai meluap, menggenangi dan merendam permukiman, memutus jalan, dan memaksa sebagian warga meninggalkan rumah. Aktivitas ekonomi terhenti, sekolah diliburkan, dan masyarakat masuk ke dalam rutinitas darurat.
Namun, berita tentang rumah-rumah terendam dan jalan-jalan putus, memiliki dimensi yang lebih dalam. Yaitu bagaimana masyarakat Minangkabau mengorganisir diri menghadapi bencana dengan kekuatan sosial dan budaya yang telah diwariskan. Bagi masyarakat, bencana banjir bukan hanya sekadar bencana, tetapi berfungsi pula sebagai ujian bagi masyarakat dalam menghadapi krisis.
Dalam tematik Minangkabau, masyarakat mempunyai cara pandang yang selaras. Hubungan manusia dan alam tidak terpisah. Alam adalah kehidupan dan harus dijaga seimbang. Ketika banjir datang, sebagian masyarakat memaknai sebagai alam yang tidak seimbang. Cara pandang ini memposisikan masyarakat tidak hanya merugikan, tetapi saling menguatkan.
Masyarakat dari seluruh penjuru yang tersebar dalam jaringan sosial bergerak sangat cepat dengan tanggap. Walaupun informasi awalnya lambat dipubikasikan, masyarakat sudah memindai informasi dari pengeras suara masjid, grup masyarakat, sampai dengan pesan langsung antartetangga. Proses pengungsian, evakuasi mandiri, dan pengutamaan lansia, anak dan warga sakit, sudah dijadwalkan pada pengendalian mandiri masyarakat.
Gadang dan Celek siang itu kembali dipublikasikan. Warung dan kegiatan sosialmasyarakat bukan dipublikasikan, dan hanya menjadi masjid. Masjid yang menjadi simbol budaya, dan kepercayaan komunitas menjadi masjid bukan simbol budaya semata.
Kepercayaan masyarakat tercermin dari gotong royong yang padu, dari barek samo dipikua, dari ringan samo dijinjiang, semboyan yang bukan hanya berkata, tetapi konseptual yang mereka lakukan. Dalam situasi krisis, tidak ada jarak sosial yang kaku; dalam setiap sendind serta dalam setiap krisis situasi, seluruh kerumunan yang ada pasti berfungsi.
Para sesepuh, serta pemimpin agama, memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga ketertiban dan kedamaian masyarakat. Mereka menjadi orang yang dicari masyarakat ketika mereka bingung atau cemas tentang sesuatu. Kehadiran mereka serta nasihat dan bimbingan mereka mampu menenangkan kerumunan yang panik dan juga memastikan bahwa tanggap darurat bencana sesuai dengan tatanan sosial dan peradaban yang telah ditetapkan.
Terjadinya banjir juga memberikan ruang untuk refleksi diri tentang lingkungan di Sumatera Barat. Dalam tradisi Minangkabau, terdapat beberapa kearifan lokal yang mengatur tatanan harmonis dan peradaban antara manusia dan alam, termasuk pengelolaan hutan, sungai, dan perencanaan tata ruang permukiman. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan dengan demikian melindungi manusia dari dampak buruk alam.
Namun, seiring berjalannya waktu, tekanan dari pembangunan, perubahan penggunaan lahan, dan pengurangan ruang terbuka hijau meningkatkan risiko banjir. Ketika kearifan lokal mulai diabaikan, bencana datang dengan intensitas yang lebih besar dan dampak yang lebih luas. Dalam hal ini, banjir bukan hanya merupakan peristiwa alam, tetapi juga cerminan dari tatanan antara manusia dan lingkungan yang harus diperbaiki.
Walaupun dalam tantangan tersebut, masyarakat Minangkabau berupaya menunjukkan bahwa adat tidak bertentangan dengan modernitas. Tidak justru sebaliknya, adat adalah sumber kekuatan sosial yang membantu masyarakat dalam beradaptasi dan bertahan. Nilai-nilai kebersamaan, rasa tanggung jawab kolektif, dan kepedulian terhadap sesama menjadi modal dalam pemulihan pascabencana.
Adapun pemulihan pascabencana proses bangkit dari banjir tidak berhenti ketika air surut. masyarakat masih mendapati dampak psikologis, kehilangan mata pencaharian, serta kerusakan rumah yang ditinggal banjir surut. Pada fase ini sosial kembali memainkan peran penting. Warga saling membantu, yang paling terdampak, membangun kembali rumah, dan memberikan dukungan moral, mencari solusi ekonomi, dan dengan mereka yang terdampak.
Bagi masyarakat Minangkabau, ketahanan dalam menghadapi bencana di rasakan tidak hanya seberapa cepat infrastruktur di perbaiki, tetapi seberapa kuat hubungan sosial yang di dalamnaya. Budaya musyawarah, saling membantu kebiasaan dan penghormatan terhadap adat menjadi fondasi yang menjaga masyarakat tetap utuh di tengah krisis.
Banjir yang terjadi di Sumatra Barat tentunya meninggalkan pelajaran penting tentang ketahanan sosial. Masyarakat Minangkabau, selama banjir dan dengan sedikit bantuan yang datang, menggunakan metode mereka sendiri–tindakan adat, kolektif, dan solidaritas komunitas–untuk bertahan. Krisis dari segala jenis akan terus terjadi; namun, selama nilai-nilai ini tetap hidup, masyarakat akan memiliki kapasitas untuk memperbaharui diri.
Ketika kehidupan kembali pada keadaan yang semi-normal, kenangan kebersamaan itu akan tetap ada bersama dengan noda lumpur yang tertinggal di dinding rumah-rumah orang. Dari banjir dan adat istiadat, masyarakat Minangkabau belajar bahwa bertahan hidup lebih dari sekadar tindakan tetap hidup–bertahan berarti menjunjung nilai-nilai, identitas, rasa kemanusiaan sebagai komunitas, dan untuk bertahan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































