Selama beberapa dekade terakhir, disrupsi teknologi telah mengubah wajah dunia secara drastis. Sejarah menunjukkan bahwa disrupsi teknologi bukanlah fenomena baru. Pada abad ke-19, Revolusi Industri menggantikan tenaga manusia dengan mesin uap, yang memicu pergeseran besar-besaran dari pertanian ke manufaktur. Mulai dari Revolusi Industri hingga era digital, teknologi terus mendorong perubahan signifikan di seluruh aspek kehidupan, termasuk dunia kerja.
Perkembangan teknologi berskala besar seperti kecerdasan buatan (AI), robotika, dan otomatisasi telah mengubah lanskap ketenagakerjaan global. Di Indonesia, disrupsi teknologi tidak hanya membawa peluang baru, namun juga mengancam stabilitas pekerjaan tradisional. Laporan World Economic Forum (2020) memperkirakan bahwa pada tahun 2025, 85 juta pekerjaan akan hilang sementara 97 juta pekerjaan baru akan tercipta, yang sebagian besar memerlukan keterampilan digital.
Permasalahan ini penting karena menyangkut masa depan jutaan pekerja, terutama mereka yang bekerja di sektor rentan seperti manufaktur dan administrasi. Tanpa persiapan yang memadai, kesenjangan keterampilan (skill gap) akan memperlebar kesenjangan pengangguran dan kesenjangan ekonomi. Akan tetapi, solusi dari permasalahan ini bukan dengan menolak kemajuan teknologi, namun mengembangkan tenaga kerja melalui pendidikan, pelatihan, dan kebijakan inklusif yang sejalan dengan perlindungan hak-hak pekerja, sejalan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.
Disrupsi teknologi menciptakan tiga fenomena utama dalam struktur ketenagakerjaan. Pertama, polarisasi karir. Otomatisasi mengurangi tugas-tugas rutin seperti kasir dan operator pabrik. Pada saat yang sama, permintaan terhadap pekerja berketerampilan tinggi (data analyst, programmer) dan rendah (jasa kebersihan, perawatan) justru meningkat. Hal ini terlihat di Indonesia dengan maraknya layanan non-tunai yang mengurangi kebutuhan teller bank namun menciptakan lapangan kerja di industri fintech.
Kedua, platform digital seperti Gojek dan Shopee mengubah hubungan kerja tradisional. Namun, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja belum sepenuhnya mengakomodasi perlindungan pekerja lepas, padahal Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menjamin hak pekerja atas jaminan sosial.
Ketiga, disrupsi teknologi menyebabkan kesenjangan pekerjaan. Berdasarkan survei LinkedIn (2023) mengungkap bahwa 87% perusahaan kesulitan merekrut talenta digital. Contoh nyata adalah rendahnya jumlah lulusan TI di Indonesia—hanya 40.000 per tahun (Kemenkominfo, 2023), padahal kebutuhan industri mencapai 600.000.
Meski menghilangkan beberapa peran, disrupsi teknologi juga melahirkan profesi baru seperti AI trainer, sustainability specialist, dan cloud engineer. Namun, perlindungan hukum bagi pekerja di bidang ini masih minim, terutama terkait kontrak kerja dan hak kekayaan intelektual yang belum diatur secara spesifik dalam UU Ketenagakerjaan.
Untuk mencegah dampak negatif disrupsi teknologi, berikut solusi yang bisa diimplementasikan:
a. Pendidikan dan Pelatihan
- Kurikulum berbasis STEM: Sekolah dan kampus harus memasukkan coding, ilmu data, dan kecerdasan buatan sebagai mata pelajaran wajib, seperti yang dilakukan Finlandia (OECD, 2021).
- Program reskilling pemerintah: Indonesia dapat mengikuti inisiatif SkillsFuture Singapura dan memberikan subsidi pelatihan bagi pekerja untuk mempelajari keterampilan baru.
b. Kebijakan Perlindungan Pekerja
- Revisi UU Ketenagakerjaan: Perlu diperjelas aturan mengenai pekerja lepas dan pekerja platform, termasuk hak cuti, upah minimum, dan jaminan sosial, sesuai dengan Pasal 88 UU No.10. 13/2003.
- Uji coba universal basic income (UBI): Seperti di Kenya, UBI bisa menjadi jaring pengaman bagi pekerja yang tergantikan mesin (World Bank, 2022).
Sayangnya, respons pemerintah Indonesia masih lambat. Program Kartu Prakerja dinilai tidak cukup karena hanya bersifat jangka pendek dan kurang fokus pada keterampilan digital mendalam.
Disrupsi teknologi tidak namun dampaknya dapat dikelola. Kuncinya adalah kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk membangun ekosistem ketenagakerjaan yang adaptif. Pendidikan harus berfokus pada keterampilan untuk masa depan, sementara kebijakan sosial harus menjangkau pekerja yang paling rentan dengan memperkuat payung hukum seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan dan turunannya.
Masa depan pekerjaan bukanlah perang antara manusia dan mesin, tetapi perang di mana manusia menggunakan teknologi untuk menciptakan pekerjaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Melalui langkah-langkah strategis, Indonesia dapat menjadi model bagaimana negara-negara berkembang dapat beradaptasi dengan Revolusi Industri tanpa mengorbankan hak-hak pekerja.
Referensi
World Economic Forum (2020). The Future of Jobs Report.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT.
Kemenkominfo (2023). Kebutuhan Talenta Digital Indonesia.
World Bank (2022). Universal Basic Income Pilot Projects.