Selama ini, pemahaman publik mengenai adiksi berfokus pada sebuah pandangan konvensional, bahwa kecanduan terjadi karena orang tidak mampu untuk menahan godaan. Bagi kebanyakan orang pandangan ini mungkin logis, namun pandangan yang berbeda ditunjukkan oleh neurosains modern. Ketika seseorang mengalami adiksi, itu bukan sekadar melemahnya kemauan atau tekad tetapi sebaliknya, sistem yang mengatur motivasi, reward(imbalan), dan pengambilan keputusan, di dalam otak mengalami rekonstruksi secara biologis.
Perspektif ini menyatakan bahwa adiksi bukanlah suatu kegagalan moral, melainkan kondisi neurobiologis yang berkembang melalui interaksi antara zat adiktif, respons dopamin, dan adaptasi neural jangka panjang. Sangat penting untuk mengenali titik awal ini, karena pada faktanya adiksi timbul bukan dari kelemahan pribadi atau kurangnya disiplin, tetapi akibat dari adanya perubahan dalam struktur dan fungsi otak.
Sistem reward dalam otak beroperasi dengan ritme yang stabil dalam kondisi normal. Ketika kita melakukan aktivitas yang bermakna secara evolusioner, seperti makan makanan bergizi, mencari interaksi sosial yang aman, menyelesaikan tugas penting, atau mencapai tujuan yang bermakna, maka dopamin akan dilepaskan. Pelepasan dopamin yang moderat membantu otak menyortir pengalaman mana yang harus diulang dan yang harus dihindari. Mekanisme ini sangat adaptif karena dapat memungkinkan manusia memulai dan membangun kebiasaan baik, merasa termotivasi, dan menjaga keseimbangan emosional.
Namun, mekanisme adaptif ini berubah ketika zat adiktif menstimulasi sistem reward secara berlebihan. Zat adiktif seperti nikotin, alkohol, kokain, dan psikoaktif lainnya, memicu lonjakan dopamin yang berkali-kali lipat jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh aktivitas sehari-hari. Jika mengonsumsi makanan lezat meningkatkan dopamin secara sederhana, maka mengonsumsi zat adiktif dapat melepaskan dopamin yang jauh melampaui kapasitas umumnya. Pada saat lonjakan ini terjadi secara berulang, otak akan memasuki kondisi yang dikenal sebagai “dopamine overdrive”, di mana jalur reward berjalan melampaui batas normal dan menyebabkan hilangnya keseimbangan alami.
Karena itu, demi mencegah sistem dari “kelelahan,” otak memulai adaptasi dengan cara mengurangi sensitivitas reseptor dopamin. Reseptor yang pada mulanya sangat responsif berubah menjadi tumpul karena telah terpapar dopamin berlebihan secara berulang. Perubahan ini membawa konsekuensi pada perilaku, aktivitas yang dulunya memberikan kesenangan, seperti mendengarkan musik, bersosialisasi, atau berolahraga, tak lagi menghasilkan rasa puas yang sama seperti sedia kala. Orang dalam kondisi ini akan mulai mengalami anhedonia ringan, yakni kemampuan untuk menikmati aktivitas sehari-hari menjadi berkurang. Hanya lewat zat adiktif reward akan didapatkan. Ini menunjukkan kondisi toleransi sudah dimulai, yaitu dosis sebelumnya tidak lagi menghasilkan efek yang sama, sehingga menyebabkan peningkatan konsumsi untuk mengejar reward yang terasa semakin sulit didapat.
Dampak lainnya muncul di wilayah korteks prefrontal (PFC) yaitu bagian otak yang bertanggung jawab atas fungsi eksekutif. PFC berfungsi seperti “rem,” mengendalikan impuls, mengevaluasi risiko, dan menahan dorongan jangka pendek demi tujuan jangka panjang. Studi neuroimaging menunjukkan penurunan aktivitas PFC pada orang yang sudah dalam kondisi adiksi, rem yang tadinya berfungsi efektif seolah-olah telah melemah. Ketika sistem reward ditekan terlalu kuat sementara PFC kehilangan kemampuannya, orang menjadi berperilaku kompulsif, bahkan ketika mereka secara sadar mengakui konsekuensi negatifnya. Hal ini menjelaskan mengapa niat baik untuk berhenti tidak selalu sejalan dengan kemampuan untu melakukannya.
Setelah paparan yang berkepanjangan, sistem stres, terutama sumbu HPA juga mengalami perubahan, menyebabkan tubuh menjadi lebih sensitif terhadap stres. Situasi yang biasanya bisa dikontrol tiba-tiba memicu craving yang jauh lebih kuat dan cepat. Hal ini terjadi karena otak mengingat bahwa zat adiktif pernah memberikan kelegaan instan. Oleh karena itu, setiap ketegangan emosional menjadi terkait dan terikat dengan dorongan kuat untuk menggunakan lagi. Pola ini menyebabkan kekambuhan (relapse) menjadi sangat umum, bahkan setelah periode yang panjang.
Lingkungan digital modern menciptakan pola stimulasi yang sama, meskipun dalam skala yang berbeda. Fenomena dopamin berlebihan tidak hanya lagi disebabkan oleh zat kimia. Media sosial, game online, konten berdurasi pendek, dan notifikasi ponsel yang terus menerus ada memberikan reward kecil namun dalam frekuensi tinggi. JIka zat adiktif membuat lonjakan dopamin yang masif, di sisi lain teknologi digital juga menciptakan semburan mikro-dopamin dengan frekuensi tinggi. Pola ini membiasakan otak untuk mencari stimulasi cepat, yang membuatnya menjadi sulit untuk fokus, lebih cepat merasa bosan, dan lebih bertumpu pada kepuasan yang instan namun sementara daripada aktivitas mendalam yang bermakna.
Dopamine overdrive berkelanjutan juga dapat menghasilkan gejala lain, seperti gangguan tidur, kecemasan, ketidakstabilan suasana hati, dan kelelahan mental. Stimulasi berlebihan pada sistem dopamin, apabila tidak dikelola dengan baik, dapat berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti depresi atau gangguan kecemasan.
Pada akhirnya, dopamine overdrive menunjukkan bahwa adiksi adalah kondisi biologis yang membuat “gas” pada otak terus ditekan sementara “rem”-nya blong, jadi adiksi bukan sekadar masalah tekad. Ketika sistem reward kehilangan titik seimbang tempat dorongan dan pengendalian diri bekerja harmonis (ekuilibrium), perilaku bergerak di luar kendali dan kesadaran. Namun, sifat plastis otak tidak hanya satu arah, jika otak dapat menjadi ketergantungan, maka ia juga dapat beradaptasi kembali menuju keseimbangan. Memahami mekanisme ini, dapat membantu kita untuk menata ulang kebiasaan, mengelola stimulasi dengan bijak, dan mengendalikan impuls yang lahir dari otak yang terlalu terstimulasi, sehingga setir kendali tetap berada pada diri kita sendiri.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




































































