ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI
$ Etika$ dalam budaya, pernah ikut kelas online bareng mahasiswa luar negeri dan cuma bisa senyum saja sepanjang sesi? atau ikut webinar internasional, tapi takut nyalain mic karena nggak yakin cara ngomong kita sopan atau nggak? kalau iya, tenang, kamu nggak sendirian.
Di zaman serba daring ini, ruang $ komunikasi$ kita bukan lagi sekadar ruang kelas atau kafe. Sekali klik, kamu bisa langsung “duduk” bareng orang dari lima benua. Tapi sayangnya, kecepatan teknologi nggak selalu dibarengi kecepatan kita belajar soal etika lintas budaya.
“Satu Dunia, Banyak Etika”
$ Komunikasi lintas budaya$ bukan hanya soal bisa Bahasa Inggris atau pakai emoji yang tepat. Tapi juga soal memahami nilai – nilai yang hidup di balik setiap kata.
Misalnya, saat kamu bilang “maaf ya” karena datang 10 menit telat, orang Jerman bisa saja tersinggung. Karena bagi mereka, ketepatan waktu adalah bentuk rasa hormat. Sementara buat sebagian besar orang Indonesia, “jam lambat” masih bisa ditoleransi.
Inilah pentingnya etika komunikasi lintas budaya, supaya kita tidak hanya terdengar pintar, tapi juga terasa bijak.
Kalau Komunikasi Itu Jembatan, Maka Etika Adalah Pilar Utamanya
Bayangkan $ komunikasi$ sebagai jembatan antara dua dunia, duniamu dan dunia orang lain. Tapi jembatan ini nggak akan berdiri kokoh tanpa pilar yang kuat dan salah satu pilar itu adalah etika.
$ Etika$ , menurut Aristoteles, adalah kebiasaan yang tertanam dalam diri, sedangkan menurut Kees Bertens, etika adalah norma yang mengatur perilaku. Di dunia global, dua definisi ini jadi makin penting, karena satu ucapan yang biasa buat kita bisa jadi sangat menyinggung buat orang lain.
Contohnya? Bercandaan soal fisik yang sering kita anggap wajar di media sosial, bisa dianggap body shaming berat di budaya Barat.
Studi Kasus Viral: Miss World Indonesia & Jawaban Bahasa Inggris yang Bikin Netizen Bersuara
Pada ajang Miss World Indonesia, salah satu finalis bernama Pricilia Carla Yules (Miss Indonesia 2020) viral bukan hanya karena penampilannya, tapi juga karena caranya menjawab pertanyaan juri dalam sesi tanya jawab yang menggunakan Bahasa Inggris formal dan ekspresif. Respons publik di media sosial langsung terbagi dua:
Ada yang mengapresiasi kemampuan Carla dalam berkomunikasi dengan fasih dan percaya diri di hadapan juri internasional.
Tapi ada juga yang mengkritik gaya bicaranya dianggap “kebule – bulean” dan dinilai “kurang mencerminkan budaya Indonesia”.
Komentar seperti:
“Ngomongnya kebarat-baratan banget, lupa sama akar budaya sendiri.”
“Ini mah terlalu over, kayak dibuat-buat.”
Itu memperlihatkan adanya gesekan antara cara komunikasi global dengan ekspektasi budaya lokal.
Analisis Etika Komunikasi Lintas Budaya
Kasus ini mencerminkan konflik antar nilai budaya: antara globalitas dan lokalitas.
1. Perbedaan Gaya Komunikasi
Di panggung internasional seperti Miss World, etika komunikasi global mengharuskan peserta tampil percaya diri, artikulatif, dan ekspresif.
Sementara di budaya Indonesia yang menjunjung kesopanan dan keanggunan, ekspresi berlebihan bisa dianggap “tidak membumi” atau terlalu dramatis.
2. Etika dalam Representasi Budaya
Carla berbicara dalam Bahasa Inggris karena tuntutan acara yang berskala internasional.
Namun sebagian masyarakat menganggap komunikasi yang baik tidak hanya tentang bahasa, tapi juga cara menyampaikan nilai budaya dengan sikap khas Indonesia: rendah hati, lembut, tidak terlalu menonjolkan diri.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Kasus Ini?
Etika komunikasi lintas budaya hanya soal bisa berbahasa asing, tapi bagaimana kita bisa menyeimbangkan identitas lokal dengan ekspektasi global.
Konteks audiens sangat penting. Komunikasi yang efektif di satu budaya bisa dianggap tidak pantas di budaya lain.
Kesadaran budaya ganda (cultural dual awareness) menjadi kunci, yang bisa memahami dan mengakomodasi dua sistem nilai yang berbeda tanpa kehilangan jati diri.
Kasus Carla Yules menjadi pengingat bahwa dalam dunia yang semakin terbuka, etika komunikasi lintas budaya menjadi semakin relevan, baik di panggung internasional, ruang rapat global, hingga layar Zoom.
Masyarakat Indonesia, yang hidup di negara multikultur dan sangat aktif di media sosial, perlu belajar untuk:
Tidak cepat menghakimi gaya komunikasi yang berbeda,
Meningkatkan literasi budaya,
Dan memahami bahwa komunikasi yang “berbeda” bukan berarti “salah”.
Karena di dunia yang semakin global, orang yang bisa menjembatani budaya, bukan hanya menguasai bahasa, akan jadi pemenang sebenarnya.
Etika Itu Bukan Baku, Tapi Bisa Dipelajari
Untungnya, etika bukan bakat bawaan, melainkan bisa diasah. Berikut ini beberapa “alat komunikasi lintas budaya” yang bisa kamu bawa ke mana – mana:
Kesadaran budaya: Sadari bahwa orang lain mungkin punya kebiasaan yang sangat berbeda darimu, dan itu bukan hal aneh.
Keterampilan komunikasi: Belajar menyampaikan pesan dengan cara yang bisa diterima oleh orang dari latar belakang berbeda.
Empati: Coba pahami kenapa seseorang berkata atau bertindak dengan cara tertentu sebelum langsung menghakimi.
Pengetahuan budaya: Cari tahu nilai-nilai umum di budaya lain, terutama saat kamu akan berinteraksi secara langsung atau daring.
Umpan balik aktif: Dalam komunikasi lintas budaya, lebih baik bertanya balik (“Apakah ini terdengar sopan?”) daripada mengira-ngira.
Bukan Tentang Jadi Orang Lain, Tapi Belajar Jadi Orang yang Bisa Diterima
Salah satu kekhawatiran orang dalam $ komunikasi$ antarbudaya adalah “takut kehilangan jati diri.” Padahal, beradaptasi bukan berarti berubah jadi orang lain, tapi belajar menyampaikan siapa diri kita dengan cara yang bisa dimengerti oleh orang lain.
Persis seperti ketika kita belajar bahasa asing, kita akan tetap jadi diri sendiri, tapi dengan kata – kata yang bisa mereka pahami.
Dunia yang Terkoneksi Butuh Orang yang Terkoneksi Hatinya
$ Etika lintas budaya $ bukan sekadar teori kelas. Ini adalah keterampilan hidup yang bisa menyelamatkanmu dari salah paham, konflik, bahkan kegagalan kerja sama.
Jadi, jangan cuma update Zoom-mu ke versi terbaru, tapi juga update pemahamanmu tentang budaya lain. Karena di dunia yang terhubung seperti sekarang, kesuksesan bukan cuma milik yang cepat bicara, tapi milik mereka yang tahu kapan harus bicara, bagaimana bicara, dan kapan harus diam.