Pada tahun 2025, Indonesia berada di titik krusial transformasi ekonomi digital. Salah satu sektor yang berkembang pesat adalah financial technology (fintech), yang telah mengubah cara masyarakat mengakses dan mengelola keuangan. Dari pembayaran digital hingga pinjaman peer-to-peer (P2P), fintech telah memperluas inklusi keuangan secara signifikan. Namun, di balik pertumbuhan pesat ini, tersimpan peluang besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan: sinkronisasi data keuangan antara fintech dan otoritas pajak untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
Era Baru Keuangan Digital
Fintech tak lagi sekadar alternatif layanan keuangan; ia telah menjadi arus utama. Dengan jutaan transaksi terjadi setiap hari, industri fintech menghasilkan data keuangan dalam jumlah besar dan real-time. Data ini yang mencerminkan pendapatan, pengeluaran, hingga pola konsumsi individu maupun pelaku usaha merupakan tambang emas bagi perumusan kebijakan fiskal yang lebih presisi.
Mengapa Sinkronisasi Data Diperlukan?
Salah satu tantangan utama dalam sistem perpajakan Indonesia adalah keterbatasan akses terhadap data keuangan wajib pajak, terutama dari sektor informal dan pelaku usaha kecil menengah (UMKM) digital. Di sinilah peran fintech menjadi strategis. Dengan sinkronisasi data keuangan fintech ke sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP), pemerintah bisa memperoleh gambaran lebih akurat mengenai potensi pajak, mempermudah pelacakan kepatuhan pajak, dan mengurangi kebocoran penerimaan negara.
Peluang Integrasi dan Manfaat Jangka Panjang
Beberapa negara seperti India dan Estonia telah memulai integrasi sistem pajak dan layanan fintech dengan hasil yang menjanjikan. Indonesia pun berpeluang besar mengikuti jejak tersebut, terutama dengan adanya infrastruktur digital seperti Core Tax Administration System (CTAS) dan program integrasi NIK sebagai NPWP.
Integrasi ini membawa berbagai manfaat:
Peningkatan kepatuhan pajak: Wajib pajak yang sebelumnya “tak terlihat” menjadi terdeteksi melalui riwayat transaksi digital mereka.
Penyederhanaan pelaporan: Sistem yang terintegrasi memungkinkan proses pre-filled tax reporting secara otomatis.
Peningkatan penerimaan negara: Basis pajak yang lebih luas berarti potensi penerimaan yang lebih besar, tanpa harus menaikkan tarif pajak.
Tantangan dan Prasyarat Sukses
Tentu, sinkronisasi data tidak bisa dilakukan sembarangan. Isu privasi, keamanan data, dan kepercayaan publik menjadi krusial. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dibarengi dengan:
Regulasi perlindungan data pribadi yang kuat dan transparan
Sistem keamanan siber yang andal
Sosialisasi publik yang intensif untuk membangun kepercayaan
Penutup: Kolaborasi sebagai Kunci
Fintech dan DJP tidak perlu saling curiga—justru harus saling bermitra. Di era digital, data adalah aset. Bila dikelola bersama dalam kerangka hukum dan etika yang tepat, maka kolaborasi ini bukan hanya menguntungkan negara, tapi juga menciptakan ekosistem keuangan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan.
Tahun 2025 adalah momentum. Indonesia bisa menjadi pelopor di Asia Tenggara dalam memadukan inovasi digital dengan kebijakan fiskal cerdas. Saatnya membangun jembatan antara fintech dan pajak demi masa depan penerimaan negara yang lebih kuat.
Penulis: M Bastian