Penggunaan gadget dalam belajar sekarang sudah menjadi hal yang biasa bagi siswa di Indonesia. Banyak sekolah menggunakan aplikasi belajar, video pembelajaran, dan platform digital untuk membantu proses belajar. Menurut teori belajar konstruktivisme, siswa akan lebih aktif jika mereka terlibat langsung mencari dan mengolah informasi sendiri. Gadget mendukung hal tersebut karena menyediakan akses informasi yang luas dan cepat. Namun berita dari Kompas Edukasi menyebutkan bahwa penggunaan gadget yang berlebihan membuat siswa sulit fokus belajar. Banyak orang tua yang mengeluh karena anak sulit menghentikan penggunaan gadget padahal waktu belajar sudah selesai. Dari sini terlihat bahwa penggunaan gadget dalam belajar tidak sepenuhnya tanpa risiko.
Berbeda dengan gadget, buku cetak masih dianggap sebagai sumber belajar yang lebih tenang dan bebas gangguan. Teori dual coding yang dikemukakan Allan Paivio (Paivio, 1971) menjelaskan bahwa membaca buku merangsang pemahaman dan daya ingat karena siswa memproses informasi secara visual dan verbal sekaligus. Sayangnya, menurut berita dari CNN Indonesia, minat baca siswa semakin menurun karena mereka lebih memilih konten digital. Banyak siswa yang merasa membaca buku itu membosankan dan terlalu lama dibandingkan menonton video. Padahal buku mampu membuat siswa lebih fokus karena tidak adanya notifikasi atau hiburan di dalamnya. Hal inilah yang membuat buku tetap penting sampai sekarang. Jika ditinggalkan, kemampuan literasi siswa yang membaca akan semakin menurun.
Meski begitu, gadget tetap memiliki manfaat besar bila digunakan dengan benar. (Widiastari & Puspita, 2024) Studi kasus di SD menunjukkan bahwa video edukasi, kuis interaktif, dan platform dare membuat suasana belajar lebih interaktif dan membantu siswa lebih tertarik dan aktif media digital efektif meningkatkan motivasi belajar. Artinya teknologi dapat membuat proses belajar menjadi lebih menarik dan tidak monoton. Namun manfaat ini hanya terjadi jika penggunaan gadget dikendalikan dengan baik. Banyak siswa justru membuka game, TikTok, dan YouTube saat belajar menggunakan gadget. Distraksi ini membuat pembelajaran tidak berjalan maksimal. Jadi, gadget bukanlah masalah utama, melainkan pengendalian diri saat menggunakannya.
Melihat situasi ini, beberapa sekolah mencoba menyeimbangkan penggunaan gadget dan buku dengan menerapkan pembiasaan membaca sebelum belajar. Berdasarkan kemendikdasmen, kegiatan “15 menit membaca sebelum waktu belajar dimulai” telah menjadi bagian dari Gerakan Literasi Sekolah yang diterapkan di banyak sekolah. Tujuannya adalah menumbuhkan budaya membaca buku agar siswa tidak sepenuhnya bergantung pada konten digital. Dengan cara ini, siswa diajak untuk memulai pembelajaran dengan fokus yang lebih baik melalui aktivitas membaca yang tenang dan bebas gangguan. Guru juga diarahkan untuk membuat pembelajaran yang lebih teratur ketika gadget digunakan. Namun dalam praktiknya, pengawasan masih menjadi tantangan, karena sebagian siswa tetap membuka aplikasi hiburan saat guru tidak memperhatikan. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran digital tetap membutuhkan kontrol yang kuat demi menjaga kualitas belajar siswa.
Jika dilihat dari teori behaviorisme, kebiasaan belajar dapat terbentuk melalui aturan yang jelas dan konsisten. Jadi, penggunaan gadget dan buku bisa berjalan dengan baik jika siswa sudah terbiasa menggunakannya secara bertanggung jawab. Orang tua dan guru perlu membuat batasan atau jadwal belajar agar siswa tidak memakai gadget secara bebas. Misalnya waktu belajar gadget hanya digunakan untuk materi pelajaran dan pencarian informasi. Setelah itu baru boleh digunakan untuk hiburan. Dengan pembiasaan seperti ini, siswa dapat belajar teknologi tanpa kehilangan fokus. Peran pendampingan orang tua sangat penting dalam hal ini.
Budaya membaca buku juga perlu diperkuat agar tidak semakin hilang. Banyak guru mengakui bahwa siswa yang terbiasa membaca buku memiliki kemampuan bahasa dan kosakata yang lebih baik. Membaca buku juga melatih kesabaran, ketelitian, dan kemampuan memahami informasi yang panjang. Perpustakaan sekolah seharusnya dibuat lebih menarik agar siswa mau datang dan membaca tanpa merasa terpaksa. Kegiatan seperti pojok baca, tantangan membaca, atau resensi buku bisa menjadi cara menarik minat siswa. Jika budaya membaca tidak dibangun kembali, kemampuan literasi generasi muda semakin terancam. Buku bukan musuh teknologi, tetapi pelengkapnya.
Tidak semua siswa memiliki akses gadget dan internet yang memadai. Berita dari Detik Edu menyebutkan bahwa masih banyak siswa di daerah terpencil yang kesulitan belajar online karena keterbatasan fasilitas. Dalam situasi seperti ini, buku menjadi penyelamat utama karena bisa digunakan kapan saja tanpa membutuhkan sinyal atau baterai. Hal ini menunjukkan bahwa buku tetap relevan dan tidak dapat diganti sepenuhnya. Pembelajaran digital yang terlalu dominan dapat membuat gambaran pendidikan menjadi lebih besar. Oleh karena itu pemerintah, sekolah, dan masyarakat perlu memikirkan solusi agar semua siswa mendapatkan hak belajar yang sama. Pendidikan tidak boleh hanya berpusat pada teknologi.
Dari sisi kesehatan juga, penggunaan gadget yang terlalu lama memberikan dampak negatif bagi tubuh siswa. Berita IDN Times mengungkapkan bahwa peningkatan kasus mata lelah dan sakit kepala pada siswa meningkat setelah pembelajaran digital. Siswa juga cenderung kurang bergerak karena terlalu fokus dengan layar gadget. Buku juga bisa menjadi masalah jika dibaca dengan posisi yang salah, tetapi risiko fisiknya tidak sebesar gadget. Kesehatan adalah hal penting dalam proses belajar karena tubuh yang lelah menyebabkan otak sulit memahami pelajaran. Maka pengaturan waktu belajar perlu disesuaikan agar fisik siswa tidak terbebani. Keseimbangan antara buku dan gadget bisa mengurangi risiko kesehatan tersebut.
Secara keseluruhan dari konteks diatas, penulis melihat bahwa gadget dan buku tidak perlu dipermasalahkan karena keduanya sama-sama penting untuk pendidikan. Gadget cocok untuk mencari informasi dengan cepat dan pembelajaran berbasis multimedia, sedangkan buku cocok untuk memahami materi lebih dalam. Keduanya dapat saling melengkapi jika digunakan secara tepat. Masalah utama bukan pada alat belajarnya, tetapi bagaimana siswa memanfaatkannya. Peran guru dan orang tua juga sangat diperlukan agar siswa tidak salah menggunakan gadget. Sistem belajar yang seimbang akan membuat siswa cerdas secara teknologi dan kuat dalam kemampuan literasi. Inilah tujuan pendidikan di era modern.
Kesimpulannya, mengemukakan tentang “gadget vs buku” bukan untuk menentukan mana yang lebih baik, tetapi bagaimana mengkombinasikan keduanya secara seimbang. Gadget memberikan inovasi belajar, buku memberikan kedalaman belajar, dan keduanya saling mendukung. Siswa akan memperoleh manfaat maksimal jika belajar dilakukan dengan disiplin dan pengawasan yang tepat. Jika gadget digunakan tanpa batasan, maka gangguan dan kecanduan akan menghambat proses belajar. Jika hanya mengandalkan buku, maka siswa bisa tertinggal perkembangan teknologi. Jadi keseimbangan adalah kunci dari pendidikan yang ideal. Dengan pengelolaan yang baik, gadget dan buku bisa menjadi pasangan terbaik dalam mendukung prestasi siswa.
Penulis : Ai Sera Triwahyuni, Fika, Nayla Vahera Tosum, Putri Amanda
Mahasiswa Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pamulang, Tahun Akademik 2025/2026
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”






































































