Sekarang, hampir di setiap jalan ada banyak coffee shop. Entah di dekat kampus, perumahan, bahkan gang kecil pun ada tempat dengan aroma kopi dan interior estetik yang memanggil untuk duduk sebentar. Tempat itu kini bukan cuma buat ngopi, tapi sudah jadi “ruang belajar” baru buat banyak mahasiswa. Laptop terbuka, earphone di telinga, dan segelas kopi di samping kanan, kombinasi yang kelihatannya produktif banget. Tapi benarkah semua itu bikin produktif, atau cuma bikin kantong boncos?
Banyak mahasiswa merasa belajar di coffee shop lebih nyaman daripada di kos. Alasannya sederhana: suasananya enak, adem, ada Wi-Fi, dan colokan listrik. Musiknya pas, tidak sepi layaknya perpustakaan tapi juga tidak seramai kantin kampus. Bagi sebagian orang, suasana seperti itu membantu otak fokus dan ide-ide cepat muncul. Bahkan, melihat orang lain sibuk di depan laptop bisa menular jadi motivasi buat ikut nugas juga.
Masalahnya, suasana nyaman itu tidak gratis. Harga segelas kopi bisa mulai dari 18 ribu sampai 50 ribu rupiah. Kalau nongkrong lebih dari 3 kali seminggu, dalam sebulan bisa habis hampir setengah juta. Itu belum termasuk biaya makan atau transportasi ke kafe maupun ke kampus. Bagi mahasiswa, nominal tersebut bukan hal kecil. Kadang, uang yang seharusnya buat kebutuhan penting malah habis buat ngopi dan wifi gratis.
Belum lagi adanya distraksi. Walau terkesan tenang, coffee shop sebenarnya penuh gangguan kecil. Musik yang terlalu keras, orang ngobrol di meja sebelah, notifikasi HP yang menggoda, atau keinginan memotret kopi untuk Instagram. Banyak yang awalnya datang dengan niat nugas, tapi akhirnya malah sibuk rebahan digital, seperti scroll TikTok, buka YouTube, atau ngobrol sampai lupa deadline. Produktif sih, tapi produktif menunda.
Tapi adil juga kalau kita lihat sisi positifnya. Bagi sebagian mahasiswa, coffee shop justru memberikan rasa fokus. Belajar di kos sering berakhir dengan rebahan dan tidur siang, sedangkan di kafe suasananya mendorong untuk tetap duduk dan menyelesaikan tugas. Banyak yang sengaja datang untuk belajar dua atau tiga jam saja agar tidak berlama-lama. Dengan suasana publik, mereka merasa lebih “terawasi” dan termotivasi untuk fokus.
Selain itu, coffee shop juga punya efek sosial dan psikologis. Tempat ini sering jadi pelarian bagi mahasiswa rantau yang bosan sendirian di kamar. Ada rasa nyaman ketika bisa belajar sambil melihat aktivitas orang lain. Tidak terasa sendirian, tapi juga tidak harus ikut ngobrol. Bagi sebagian orang, itu cukup membantu menjaga mood belajar dan semangat menjalani hari hari kuliah yang kadang membosankan.
Namun, fenomena ini juga menggambarkan sesuatu yang lebih besar. Perubahan gaya hidup mahasiswa. Coffee shop bukan lagi tempat nongkrong, tapi simbol produktivitas modern. Belajar di kafe sambil minum kopi kini dianggap keren, bahkan identik dengan gaya hidup “mahasiswa kreatif”. Tidak jarang, foto laptop dan kopi jadi konten wajib di media sosial. Seolah-olah produktivitas perlu dibuktikan lewat postingan. Padahal, yang penting bukan tampil sibuk, tapi benar-benar menyelesaikan pekerjaan.
Bagi pemilik kafe, tren ini jelas menguntungkan. Mereka tidak hanya jual kopi, tapi juga suasana yang “instagramable”. Wi-Fi gratis, colokan di setiap meja, dan musik chill jadi senjata utama. Mahasiswa betah berjam-jam, pesanan bertambah, bisnis pun lancar. Dari sisi ekonomi kreatif, coffee shop bahkan berperan penting menciptakan ruang baru bagi anak muda untuk belajar dan bekerja.
Menariknya, tren belajar di coffee shop juga memperlihatkan pergeseran makna ruang belajar itu sendiri. Dulu, belajar selalu identik dengan ruang formal kelas, perpustakaan, atau meja belajar di kamar. Sekarang, ruang belajar bisa di mana saja: di kafe, coworking space, bahkan di taman kota dengan jaringan Wi-Fi publik. Hal ini menunjukkan bahwa generasi muda semakin mencari fleksibilitas. Mereka tidak hanya butuh tempat yang nyaman, tapi juga suasana yang mendukung kreativitas dan kebebasan berpikir. Namun fleksibilitas itu bisa berubah jadi tekanan sosial terselubung. Ketika semua orang tampak sibuk di coffee shop, ada dorongan halus untuk ikut-ikutan. Kalau tidak ikut nongkrong sambil kerja, rasanya ketinggalan zaman. Inilah jebakan gaya hidup modern di mana produktivitas kadang lebih tentang penampilan daripada hasil. Banyak yang akhirnya datang bukan untuk bekerja, tapi untuk terlihat sedang bekerja.
Di sinilah pentingnya kesadaran diri. Coffee shop bisa jadi ruang produktif, tapi hanya kalau kamu tau tujuan datang ke sana. Kalau datang untuk nugas, buat batas waktu dan target yang jelas. Gunakan aturan sederhana, seperti satu kopi, satu tugas selesai. Kalau sudah, baru boleh santai. Dengan begitu, kamu tetap menikmati suasana kafe tanpa terjebak jadi pelanggan setia yang tidak produktif.
Selain itu, coba cari alternatif lain. Belajar di perpustakaan umum, ruang baca kampus, atau taman kampus bisa jadi pilihan hemat dan tenang. Banyak perpustakaan sekarang sudah menyediakan area santai dengan stopkontak dan Wi-Fi juga. Kadang suasana yang lebih sepi justru membantu fokus lebih lama. Tidak perlu selalu mengikuti tren kalau ternyata tidak cocok dengan gaya belajar kamu sendiri.
Bagi mahasiswa rantau, coffee shop memang bisa terasa seperti rumah kedua. Tapi rumah kedua tidak harus selalu mahal. Esensi dari ruang belajar bukan pada kopinya, tapi pada niat dan konsistensinya. Mau di kafe, di kamar, atau di taman, produktivitas datang dari kebiasaan, bukan dari suasana. Fenomena “belajar sambil ngopi” ini juga jadi cermin cara generasi muda menyesuaikan diri dengan dunia yang serba cepat. Semua orang ingin nyaman, terhubung, dan terlihat produktif. Tapi di balik layar laptop dan aroma kopi itu, ada pertanyaan sederhana: apakah kita benar-benar bekerja, atau hanya sibuk berpura-pura sibuk?
Coffee shop bisa jadi ruang belajar alternatif yang menyenangkan, asal tidak jadi kewajiban tiap hari. Belajar boleh di mana saja, asal tahu tujuan dan batasnya. Kalau datang ke kafe memang untuk nugas, tidak masalah. Tapi kalau cuma ingin terlihat sibuk sambil ngopi mahal, mungkin kamu cuma sedang menukar uang saku dengan ilusi produktivitas.
Sebelum pesan kopi berikutnya, coba pikirkan sebentar: kamu benar-benar mau belajar, atau cuma ingin terlihat seperti orang yang sedang belajar?
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”