Di tengah pemulihan ekonomi yang mulai menunjukkan tanda-tanda positif, pasar kerja Indonesia masih dibayangi oleh tantangan serius. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tingginya angka pengangguran di kalangan anak muda menjadi dua sorotan utama. Meskipun data resmi menunjukkan penurunan tingkat pengangguran terbuka, kenyataan di lapangan memperlihatkan ketimpangan kualitas pekerjaan serta keterbatasan daya serap industri terhadap lulusan baru.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 berada di level 4,76 persen, turun 0,06 persen poin dibandingkan Februari 2024. Dalam periode yang sama jumlah penduduk bekerja naik 3,59 juta orang sehingga total pekerja Indonesia kini mencapai 145,77 juta jiwa. Kenaikan serapan tenaga kerja ini terutama didorong perdagangan besar–eceran dan perawatan kendaraan, yang menambah hampir satu juta pekerjaan baru di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi.

BPS mencatat total 7,28 juta orang menganggur pada Februari 2025, sedikit lebih banyak dibandingkan 7,20 juta orang setahun sebelumnya. Lonjakan penduduk usia kerja memicu persaingan ketat di pasar tenaga kerja meski Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) meningkat 0,80 persen poin. Kualitas lapangan kerja pun masih timpang seperti proporsi pekerja informal mendominasi lebih dari 59 persen, meninggalkan pekerjaan formal di kisaran 40 persen.
Kelompok usia muda tetap mendominasi statistik pengangguran. Anak muda 15–24 tahun menanggung 16,16 persen TPT, lima kali lipat lebih tinggi daripada kelompok usia 25–59 tahun. Survei Sakernas Agustus 2024 bahkan menunjukkan 23,79 persen pemuda tergolong NEET (Not in Employment, Education, or Training), menandakan potensi kehilangan kapital manusia di masa bonus demografi. Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai gap keterampilan tetap menjadi akar masalah. “Kurikulum vokasi kita sering tertinggal dari kebutuhan industri manufaktur dan teknologi; lulusan datang tanpa portofolio kerja praktis,” ujarnya dalam diskusi publik di Jakarta, Rabu (5/6).
Dari sisi pendidikan lulusan SMK masih paling rentan (TPT 8 persen), disusul SMA 6,35 persen, SMP 4,35 persen, dan SD 2,32 persen. Ijazah tinggi pun bukan jaminan: TPT diploma mencapai 4,84 persen, sementara sarjana dan pascasarjana 6,23 persen. Data ini mengonfirmasi temuan BPS bahwa pendidikan menengah–kejuruan menyumbang porsi terbesar pengangguran nasional, menandakan mismatch keterampilan teknis dengan spesifikasi pabrik maupun startup digital.
Tekanan pasar kerja kian diperparah gelombang PHK sejak awal 2025. Data Bisnis.com mencatat 38 pabrik di sektor tekstil, keramik, dan kemasan sudah menutup operasi hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini, merumahkan ribuan buruh padat karya. Di ranah teknologi, laporan TechCrunch menyebut lebih dari 22 ribu pekerja global dan domestik terdampak efisiensi di 72 perusahaan rintisan, termasuk pemangkas karyawan di Bukalapak, Intel, dan Meta.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai persoalan upskilling harus dipercepat. Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Widjaja menegaskan, “Korporasi butuh insentif fiskal untuk magang terstruktur, tanpa skema itu, keengganan merekrut fresh graduate tetap tinggi.” Ia menyoroti pentingnya tax allowance bagi perusahaan yang menampung peserta magang bersertifikat. Sementara itu Kementerian Ketenagakerjaan mengklaim program Kartu Prakerja telah menjangkau 17 juta peserta sejak 2020, dengan fokus terkini pada cloud computing, manufaktur berbasis Internet of Things, serta keterampilan ramah energi terbarukan.
Meski beragam program pelatihan dan insentif telah diluncurkan, tantangan di dunia kerja tampaknya belum benar-benar terselesaikan. Banyak kebijakan masih berjalan sendiri-sendiri, sementara kebutuhan di lapangan terus berkembang cepat. Jika tidak ada penyelarasan yang lebih serius antara pendidikan, pelatihan, dan kebutuhan industri, kekhawatiran soal pengangguran muda bisa terus berlanjut.
Pengamat ketenagakerjaan dari CORE Indonesia Mohammad Faisal, mencatat bahwa turunnya TPT tidak serta-merta memotong angka kemiskinan jika kualitas pekerjaan masih rendah. “Upah riil buruh memang naik tipis menjadi Rp3,09 juta per bulan, namun inflasi pangan dan perumahan menggerus daya beli,” ujarnya. Ia merekomendasikan harmonisasi antara kebijakan upah minimum, perluasan jaminan sosial pekerja informal, dan pengetatan impor barang konsumsi yang melemahkan industri padat karya domestik.