Gunung Lewotobi Meletus: Ketika Alam Berbicara, Apakah Kita Masih Mendengarkan?
Letusan Gunung Lewotobi Laki-laki pada Jumat malam, 1 Agustus 2025, pukul 20.48 WITA, bukan hanya sebuah peristiwa geologis biasa. Kolom abu setinggi 10 kilometer yang membumbung ke angkasa bukan sekadar fenomena visual dramatis, melainkan alarm keras dari perut bumi—bahwa manusia, dengan segala ambisi dan kelalaiannya, belum benar-benar siap hidup berdampingan dengan kekuatan alam yang maha dahsyat.
Dalam konteks Indonesia sebagai negeri di atas “Cincin Api Pasifik”, letusan Lewotobi harus dibaca sebagai narasi besar tentang ketimpangan antara pengetahuan, kebijakan, dan kesadaran publik. Gunung ini telah berstatus “Awas” (Level IV) sejak awal tahun, dengan berbagai aktivitas vulkanik yang sudah menunjukkan pola letusan. Namun, ketika letusan dahsyat benar-benar terjadi, kita lagi-lagi menyaksikan kepanikan mendadak, evakuasi terburu-buru, dan minimnya kesiapan struktural serta kultural di tingkat masyarakat akar rumput.
Mitigasi yang Gagal Mendarat di Bumi Nyata
Sebagian pihak mungkin berargumen bahwa sistem peringatan dini sudah aktif: Pos Pemantauan aktif melaporkan aktivitas vulkanik, PVMBG memperbarui status, dan pemerintah daerah mengimbau evakuasi. Namun, apakah peringatan itu sampai dan dipahami oleh masyarakat secara utuh? Apakah ada komunikasi risiko yang benar-benar membumi, atau hanya berupa spanduk dan pengumuman megafon yang tak menggugah perilaku?
Letusan tanggal 1 Agustus ini menjadi saksi bahwa mitigasi kita masih terlalu teknokratis dan belum menyentuh dimensi sosiokultural masyarakat lokal. Di banyak desa, masih ada warga yang memilih tetap tinggal di zona merah karena merasa “ini bukan yang pertama” atau “Tuhan akan melindungi kami”. Ketika keyakinan spiritual tidak dijembatani oleh pendekatan edukasi yang menghargai budaya lokal, maka peringatan menjadi sia-sia.
Ketimpangan Kesiapsiagaan: Siapa yang Paling Rentan?
Seperti bencana-bencana lainnya, letusan ini tidak memukul semua orang secara merata. Warga miskin di lereng gunung, para petani yang menggantungkan hidup pada lahan di zona bahaya, serta perempuan dan anak-anak di desa terpencil adalah pihak yang paling rentan. Mereka tidak hanya berisiko terkena dampak langsung letusan, tetapi juga menghadapi kerentanan struktural: tidak ada akses transportasi darurat, minimnya masker dan air bersih, serta ketergantungan pada informasi informal.
Sementara pemerintah pusat mungkin berdebat soal data seismik, ribuan orang di kaki Lewotobi hidup dalam ketidakpastian: apakah esok masih bisa bernapas tanpa abu? Apakah ternak mereka akan mati? Apakah air sumur mereka masih layak minum?
Relasi Manusia-Alam yang Telah Terputus
Letusan ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua, bahwa relasi manusia dengan alam telah terlalu lama dimaknai secara dominatif dan eksploitatif. Gunung dipandang sebagai lanskap, bukan makhluk hidup geologis. Kita menggusur, membangun, dan menambang tanpa mempertimbangkan napas bumi. Maka saat gunung bicara dengan abu dan gemuruh, kita panik bukan karena tidak tahu, tapi karena telah lama menolak untuk mendengarkan.
Apakah kita lupa bahwa gunung api bukan sekadar bahaya, melainkan juga guru? Ia mengajarkan bahwa keseimbangan harus dijaga, bahwa kekuatan besar tidak bisa diabaikan, dan bahwa kesombongan teknologi tidak menjamin keselamatan manusia.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, pemerintah harus meninggalkan pendekatan mitigasi satu arah. Mitigasi harus partisipatif, berbasis komunitas, dan mengintegrasikan kepercayaan lokal ke dalam sistem penanganan bencana. Kedua, kurikulum pendidikan di wilayah rawan bencana harus memasukkan pelajaran tentang kesiapsiagaan bencana sejak usia dini. Ketiga, kita perlu membangun sistem logistik dan komunikasi darurat yang inklusif, yang tidak hanya bergantung pada sinyal internet dan perangkat modern, tetapi juga dapat diakses oleh warga pedalaman dan kelompok rentan.
Terakhir, kita harus mengubah cara berpikir: dari melihat bencana sebagai peristiwa insidental menjadi bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan kesiapan, bukan dengan ketakutan atau penyangkalan.
Penutup: Abu yang Menyisakan Pertanyaan
Abu vulkanik yang melayang dari Gunung Lewotobi pada malam 1 Agustus 2025 mungkin akan mengendap dan dibersihkan dalam waktu beberapa minggu. Namun, jejak krisis yang ditinggalkannya tidak boleh hilang begitu saja. Ia harus menjadi momentum untuk meninjau ulang arah kebijakan kebencanaan kita, memperkuat kapasitas komunitas, dan yang terpenting mengembalikan kesadaran bahwa manusia bukan penguasa alam, melainkan bagian kecil dari siklus besar kehidupan bumi.
Ketika alam berbicara lewat letusan, pertanyaannya bukan hanya apakah kita mendengar tapi apakah kita belajar.