Gunungkidul, 11 Oktober 2025 — Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2025 resmi bergulir di Kabupaten Gunungkidul dengan semangat yang menolak dipahami sebagai sekadar pesta rakyat. Tahun ini, festival yang digelar di Lapangan Desa Logandeng, Plembon Kidul, Kapanewon Playen, mengusung tema “Adoh Ratu Cedak Watu” — jauh dari pusat kekuasaan, tapi dekat dengan akar budaya dan kekuatan tanah.
Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, dalam sambutannya menegaskan bahwa FKY adalah ruang refleksi dan penghormatan terhadap alam serta para pelaku di balik hasil bumi.
“Sekarang ini temanya adalah bagaimana menghargai hasil bumi, termasuk siapa yang membantu memproduksinya. Contohnya pawai hewan tadi, itu simbol penghormatan kepada makhluk yang membantu petani,” ujar Ni Made.
Pawai tersebut menjadi daya tarik utama di hari pembukaan. Deretan sapi, kambing, dan kerbau berjalan beriringan di sepanjang jalan Logandeng, menegaskan bahwa pertanian tradisional tak bisa dipisahkan dari peran hewan-hewan itu.
“Hewan itu tidak hanya disuruh bekerja. Kita juga harus berterima kasih atas kontribusinya. Tradisi seperti Gumbergan menjadi bentuk rasa syukur dan penghormatan itu,” lanjutnya.

Gunungkidul dan Ketangguhan dari Pinggiran
Ni Made menilai, tema tahun ini sangat relevan menggambarkan karakter Gunungkidul — wilayah yang dikenal tangguh dan berdaya walau jauh dari hiruk-pikuk kota.
“Tidak berarti karena jauh dari pusat pemerintahan, daerah itu tidak berdaya. Justru Gunungkidul punya fondasi kuat dari budaya, adat, dan semangat hidup masyarakatnya. Ini kekuatan yang harus dimaknai dan dijaga,” tegasnya.
Ia mencontohkan wilayah Gedangsari, salah satu kapanewon dengan tingkat kemiskinan tinggi di DIY, namun memiliki produk lokal yang kini menembus outlet di Yogyakarta International Airport (YIA).
“Itu bukti bahwa potensi lokal bisa berdaya saing tinggi,” ujarnya bangga.
Dampak Ekonomi yang Riil
FKY bukan hanya panggung seni, tetapi juga ruang pemberdayaan ekonomi rakyat. Puluhan stan di area festival menampilkan karya masyarakat: topeng kayu, batik, anyaman bambu, hingga kuliner pedesaan seperti thiwul dan jadah tempe.

“Festival ini bukan perayaan semata, tapi wadah tumbuhnya ekonomi lokal. Masyarakat bisa menjual produk, berjejaring, dan mendapatkan penghasilan. Dengan ekonomi yang kuat, wilayah pun ikut maju,” kata Ni Made.
Tak hanya pelaku UMKM yang merasakan manfaat, warga sekitar juga mendapat imbas positif. Penjual es kelapa muda, parkir kendaraan, hingga ojek lokal kebanjiran rezeki.
Siti Maryani (42), warga Logandeng, mengaku omzet jualannya naik hampir dua kali lipat selama festival.
“Biasanya jualan cuma buat harian. Tapi pas FKY, ramai banget. Banyak wisatawan dari luar daerah, anak muda juga banyak beli makanan lokal,” katanya sambil tersenyum.
Sementara itu, Suparno (55), pengrajin topeng kayu asal Playen, merasa terbantu karena produknya mendapat perhatian pembeli dari luar Yogyakarta.
“Kalau tidak ada acara seperti ini, kerajinan saya susah dikenal. Sekarang ada yang pesan dari Jakarta. Ini dampaknya nyata buat kami,” ujarnya.
Tradisi yang Menjaga Alam
FKY juga menghadirkan kembali ritual-ritual lokal yang sarat makna. Petani Gunungkidul menampilkan tradisi Kirim Parem untuk Dewi Sri, di mana mereka meracik rempah-rempah seperti kunyit dan kayu manis, lalu membungkusnya dengan daun pisang sebagai simbol rasa syukur atas hasil bumi.

Selain itu, ada pula tradisi Nglangse Pohon — warga menyelimuti pohon besar dengan kain putih sebagai tanda sakral, simbol penghormatan terhadap alam.
“Kalau sudah diselimuti, orang enggan nebang pohon sembarangan. Tradisi ini bikin kami lebih hati-hati terhadap alam,” tutur Pak Darmo (60), tokoh masyarakat setempat.
Ruang Refleksi dan Harapan Baru
Festival yang berlangsung hingga 18 Oktober 2025 ini diharapkan menjadi ruang refleksi tentang bagaimana manusia, budaya, dan alam saling terkait.
Ni Made menegaskan, FKY bukan pemborosan, melainkan bentuk investasi sosial dan budaya.
“Ini jangan dipandang sebagai hura-hura. Justru ini cara memberi ruang bagi masyarakat kreatif untuk berkarya dan memperoleh pendapatan. Ini kemuliaan,” pungkasnya.
Dengan semangat “Adoh Ratu Cedak Watu”, FKY 2025 di Gunungkidul menjadi bukti bahwa budaya yang mengakar pada bumi mampu melahirkan kekuatan baru — bukan hanya untuk seni, tetapi juga bagi kehidupan yang lebih berkelanjutan. (Yusuf)
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”