Di tanggal 9 Desember, kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (HAKORDIA). Tanggal tersebut resmi dijadikan Hari Antikorupsi Sedunia sejak penandatangan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan korupsi pada tahun 2003. PBB menjadikan hari ini sebagai pengingat bahwa korupsi adalah tindak kriminal yang akan menjadi ancaman keadilan, kesejahteraan, dan masa depan generasi berikutnya. Peringatan ini sering diikuti dengan kampanye dan pendidikan antikorupsi serta refleksi terhadap nilai-nilai budaya lokal yang dapat memperkuat persatuan. Salah satu budaya yang menarik untuk dibahas dan dikaji adalah budaya Minangkabau dengan sistem sosial yang telah lama dikenal dengan penegasan moral, pengawasan internal, dan penghargaan terhadap amanah.
Minangkabau memiliki suatu slogan yang menjadi fondasi adat yang berpijak pada nilai agama. Prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” merupakan pedoman hidup yang melekat dalam kehidupan sosial masyarakat Minang. Dalam prinsip tersebut, tindakan yang merugikan orang lain, menyalahgunakan kekuasaan, atau mengambil hak yang bukan miliknya merupakan tindakan yang telah merusak tatanan adat. Ketika dunia mulai bertindak mengenai pentingnya melawan korupsi, masyarakat Minangkabau sebenarnya telah memiliki sebuah landasan budaya yang mana pokok pembelajaran tersebut sejalan dengan gagasan tersebut jauh sebelum isu antikorupsi menjadi kampanye global.
Sistem sosial Minangkabau juga memiliki cara tersendiri dalam memastikan adanya batas-batas moral. Salah satu unsur terpenting adalah kehadiran ninik mamak sebagai pemimpin adat dalam setiap suku. Ninik mamak bertugas untuk bertugas menjaga moral dengan mengarahkan, menasihati, atau menegur anggota kaumnya ketika terjadi penyimpangan. Keberadaan tokoh pengawas yang dihormati membuat setiap tindakan individu idealnya selalu mempertimbangkan dampaknya terhadap kaum dan masyarakat. Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, yang menekankan pentingnya pengawasan dan akuntabilitas publik, memiliki getaran yang sama dengan adat Minang tersebut.
Selain itu, budaya Minangkabau sangat erat dengan musyawarah. Hampir semua keputusan besar dibahas secara terbuka, mulai dari menentukan batas tanah, menyelesaikan konflik keluarga, sampai memilih pimpinan nagari. Proses ini dikenal sebagai suatu istilah bernama balega. Balega sendiri merupakan bentuk forum yang menjadi tempat di mana masyarakat berkumpul dan mempertimbangkan berbagai pendapat. Kehadiran forum-forum semacam ini mendorong transparansi, karena keputusan tidak dibuat secara sepihak. Model ini mengandung nilai antikorupsi secara alami. Kebijakan atau tindakan yang disusun tanpa sepengetahuan masyarakat dianggap tidak sah dan tidak punya legitimasi. Nilai transparansi seperti ini merupakan pilar penting pemerintahan yang bersih.
Budaya malu dalam masyarakat Minang juga memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk sikap antikorupsi. Konsep seperti malu basuo urang (malu bertemu orang karena perbuatan buruk) atau malu jo janji (malu jika mengingkari janji) mengingatkan bahwa reputasi pribadi tidak pernah berdiri sendiri, tetapi nama keluarga pun dapat ikut terseret. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan, tindakan tercela seperti mengambil uang rakyat, memanipulasi amanah, atau menyalahgunakan jabatan dianggap sebagai aib sosial yang sulit dibersihkan. Peringatan antikorupsi di tingkat global menekankan bahwa korupsi merusak kepercayaan publik. Kerusakan itu bahkan bisa meluas ke identitas keluarga dan suku. Artinya, nilai malu yang ada di dalam budaya Minang dapat menjadi penguat etika dan moral yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Selain itu juga, masyarakat Minang sudah sejak lama dikenal sebagai masyarakat yang memiliki tradisi merantau yang kuat. Tradisi merantau ini memaksa seseorang menjaga nama baik di lingkungan baru, terutama dalam dunia perdagangan, usaha, dan pendidikan. Dalam merantau, seseorang akan membawa identitasnya sebagai modal kepercayaan dalam melaksanakan kegiatan sehari-harinya di rantau. Bila amanah tersebut dilanggar, rusaklah reputasi pribadi hingga nama kampung halamannya. Nilai ini menjadikan kejujuran sebagai aset utama. Dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, pesan “integritas sebagai modal kemajuan” sangat selaras dengan pengalaman panjang orang Minang dalam mempertahankan kepercayaan sebagai fondasi keberhasilan.
Tentunya nilai-nilai adat Minangkabau tidak akan menjamin masyarakatnya bebas dari praktik korupsi secara begitu saja. Tantangan zaman, berubahnya pola hidup, dan melemahnya pengaruh tokoh adat memudarkan nilai-nilai tersebut. Hari Antikorupsi Sedunia bisa menjadi momen untuk berefleksi bagi seluruh bagian masyarakat, khususnya masyarakat Minang, untuk mengingat kembali apakah nilai adat masih menjadi pegangan dalam kehidupan modern sekarang. Peringatan ini mengajak dunia dan setiap suku bangsa menggali kembali nilai budaya yang mendukung integritas untuk melawan korupsi.
Pada akhirnya, Hari Antikorupsi Sedunia dan budaya Minangkabau memiliki hubungan yang terletak pada pertemuan dua hal, yakni seruan untuk melawan korupsi dan kekayaan lokal yang sejak lama memelihara integritas melalui adat, musyawarah, dan penjunjungan tinggi terhadap amanah. Peringatan ini dapat menjadi kesempatan untuk meneguhkan kembali prinsip-prinsip tersebut, agar masyarakat Minang tetap menjadi bagian dari kekuatan moral bangsa dalam melawan korupsi dan membangun peradaban yang bersih.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”









































































