Perkembangan teknologi digital membawa dampak besar terhadap cara masyarakat berinteraksi dengan ajaran agama. Kini, tafsir dan diskusi tentang Al-Qur’an tak lagi terbatas pada ruang akademik, tetapi menyebar luas di media sosial. Salah satu tema yang sering mencuri perhatian adalah konsep i’jaz Al-Qur’an yakni kemukjizatan wahyu yang diyakini melampaui kemampuan manusia dalam segala aspeknya baik dari segi keindahan bahasa, keutuhan struktur, kedalaman makna, maupun kebenaran pesan yang dikandungnya.
Fenomena ini seharusnya menjadi momentum untuk memperdalam kecintaan pada Al-Qur’an. Namun, kenyataannya, penyebaran wacana keagamaan di dunia digital justru menimbulkan persoalan baru, di mana rendahnya tingkat literasi keagamaan membuat sebagian masyarakat mudah terjebak dalam pemahaman yang dangkal dan bahkan keliru.
Di era scrolling cepat, mayoritas masyarakat lebih mudah mengakses video pendek, infografik, atau narasi populer dibanding membaca kajian tafsir yang komprehensif. Sebuah penelitian tentang cyber religion mencatat bahwa lebih dari 80 persen pengguna mengakses konten keagamaan melalui YouTube dan TikTok platform yang identik dengan format cepat dan visual menarik. Pola konsumsi semacam ini mendorong terbentuknya budaya belajar agama yang instan. Konsep-konsep mendalam seperti i’jaz pun kerap direduksi menjadi sekadar “bukti ilmiah” Al-Qur’an, seolah wahyu hanya bisa dianggap benar bila selaras dengan temuan sains modern. Padahal, pandangan seperti itu justru mengabaikan dimensi linguistik, historis, dan spiritual yang menjadi inti kemukjizatan Al-Qur’an.
Krisis literasi keagamaan di sini bukan sekadar soal kemampuan membaca teks suci, melainkan juga ketidakmampuan membedakan antara informasi valid dan klaim spekulatif. Sebagai contoh, konten digital yang menyajikan narasi keagamaan dengan balutan istilah ilmiah namun tanpa landasan metodologis yang jelas. Dalam jangka panjang, praktik semacam ini berpotensi menimbulkan masalah serius: ketika klaim “ilmiah” yang dikaitkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an kemudian terbantahkan oleh temuan ilmiah terbaru, Akibatnya, tidak sedikit orang yang kemudian menaruh keraguan terhadap kebenaran wahyu. Padahal sumber masalahnya bukan pada Al-Qur’an itu sendiri, melainkan pada cara memahami dan menyampaikan isinya yang dilakukan secara serampangan dan tanpa dasar yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kondisi tersebut memperlihatkan urgensi untuk membangun literasi keagamaan yang lebih matang dan berakar pada tradisi keilmuan yang kuat. Literasi agama sejatinya tidak hanya diukur dari kemampuan menghafal atau membaca ayat-ayat Al-Qur’an, melainkan dari kemampuan menalar secara kritis setiap sumber ajaran, memahami maknanya dalam konteks sosial dan historis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap khazanah tafsir para ulama yang selama berabad-abad menjadi penopang utama peradaban intelektual Islam.
Sementara itu, ruang digital menawarkan potensi besar dalam penyebaran ilmu dan dakwah. Tantangan utamanya bukan terletak pada penolakan terhadap media baru ini, melainkan pada kemampuan memanfaatkannya secara arif dan bertanggung jawab. Para pendidik, dai, serta pembuat konten perlu mengambil peran strategis dalam menghadirkan literasi keagamaan yang komunikatif, menarik, dan mudah diakses, tanpa mengorbankan akurasi serta ketelitian ilmiah. Pengajaran tafsir dapat dikemas dengan inovatif dan kreatif, namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip metodologis yang kokoh agar substansi ajaran Al-Qur’an tidak tereduksi oleh gaya penyajiannya.
Pada akhirnya, memahami i’jaz Al-Qur’an bukan tentang mencari pembenaran sains modern, melainkan menemukan kebesaran wahyu dalam kedalaman makna dan kekuatan moralnya. Jika masyarakat memiliki literasi keagamaan yang baik, mereka tidak akan mudah tergoda oleh narasi populer yang dangkal. Tantangan terbesar bukan pada pesatnya teknologi, tetapi pada kemampuan menjaga integritas pemahaman agama di tengah arus informasi yang serba cepat.
Secara keseluruhan, perkembangan diskursus i’jaz Al-Qur’an di era digital mencerminkan dua sisi yang saling bertolak belakang yaitu peluang dan tantangan. Di satu sisi, teknologi membuka ruang luas bagi masyarakat untuk mengakses pengetahuan keagamaan secara cepat dan interaktif. Namun di sisi lain, kemudahan ini juga berisiko melahirkan pemahaman yang dangkal apabila tidak diimbangi dengan literasi keagamaan yang memadai. Karena itu, penguatan literasi menjadi kebutuhan mendesak agar masyarakat mampu menilai informasi secara kritis dan memahami kemukjizatan Al-Qur’an secara proporsional.
Penulis : Siti Maysaroh
Prodi : Ilmu Al-Quran dan Tafsir (S1)
Asal Instansi : UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Penyuting : Rahmat IR. Limbong
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































